Kamis, 25 Juni 2015

PUASA IBU HAMIL DAN MENYUSUI

Ibu Hamil dan Menyusui Boleh Berbuka

Tidak ada penjelasan khusus tentang masalah ini didalam Al-Quran, bahkan QS. Al-Baqarah:184 tidak menyebutkan kondisi hamil dan menyusui secara jelas sebagai alasan yang dengannya dibolehkan berbuka pada bulan Ramadhan. Al-Quran hanya menyebutkan tiga kondisi saja; sakit, safar, dan lemah (lanjut usia).
Namun walau demikian tidak serta-merta bahwa apa yang tidak ada dalam Al-Quran lalu kemudian bisa disimpulkan bahwa untuk kondisi hamil dan menyusui tetap wajib berpuasa dan tidak boleh berbuka. Al-Quran memang tidak menjelaskan secara khusus, namun hadits Rasulullah SAW melengkapi penjelasannya.
Dalam fikih puasa penjelasan tentang perihal puasa perempuan lebih lebih banyak dari pada pembahasan puasa laki-laki, karena pada umumnya aturan puasa untuk kaum Adam juga berlaku untuk mereka, dan selanjtnya ada aturan-aturan khusus bagi perempuan yang tidak berlaku bagi laki-laki.
Dalam kondisi hamil, kadang perempuan mengkhawatirkan kondisi bayi yang berada dalam kandungannya, kadang juga ada rasa takut terjadi apa-apa terhadap dirinya ketika mengandung, pun begitu dengan perempuan yang menyusui, kadang waktu khawatir dengan kesehatan bayi jika berpuasa, dilain waktu juga kadang muncul rasa takut dengan kondsi dirinya.
Untuk setiap kemungkinan diatas para ulama menyepakati akan kebolehan bagi mereka untuk berbuka disiang hari pada bulan Ramadhan, dan dalam konsisi seperti ini hadir penjelasan Rasulullah SAW:
إِنَّ اللهَ عَزَّ وَجَلَّ وَضَعَ عَنِ المُسَافِرِ الصَّوْمَ وَشَطْرَ الصَّلاَةِ وَعَنِ الحبُْلَى وَالمرُضِعِ الصَّوْمَ
"Sesungguhnya Allah azza wajalla meringankan musafir dari berpuasa, mengurangi (rakaat) shalat dan meringankan puasa dari wanita yang hamil dan menyusui” (HR. Ahmad dan Ashabussunan) 
Kebolehan berbuka ini bukan berarti meniadakan kemungkinan untuk berpuasa, terlebih jika memang kondisinya baik. Ada baiknya memang dikonsultasikan dengan dokter kandungan sebelum memutuskan untuk berpuasa, jika memang mempunyai niat untuk itu.
Qadha atau  Fidyah
Disinilah letak pertanyaan yang penting untuk ditanyakan, karena memang di dalam Al-Quran sendiri tidak dijelaskan tentang ini, pun begitu dengan Hadits Rasulullah SAW. Karena tidak ada dalil khsusus mengenai konsekwensi dari berbukanya ibu hamil dan menyusui ini, jadi akan sangat wajar jika ada perbedaan diantara para ulama.
Ibnu Katsir menyebutkan didalam tafsir Al-Quran Al-Azhim, juz 1, hal 501:
ففيهما خلاف كثير بين العلماء، فمنهم من قال: يفطران ويفديان ويقضيان. وقيل: يفديان فقط، ولا قضاء. وقيل: يجب القضاء بلا فدية. وقيل: يفطران، ولا فدية ولا قضاء
“Bahwa untuk kedua permasalahan ini terdapat khilaf diantara ulama; sebagian berpendapat mereka harus membayar fidyah dan mengganti puasanya, sebagian berpendapat cukup hanya dengan membayar fidyah saja, ada juga yang berpendapat wajib bagi mereka qadha’ saja, dan ada juga yang lebih ekstrim lagi; tidak fidyah tidak juga qadha’
Karena tidak ada penjelasan khsusus terkait hal ini, maka pada umumnya para ulama berijtihad dengan menggunakan jalan qiyas, dimana kondisi hamil dan menyusui ini diqiyaskan dengan kondisi yang sudah ada nashnya; sakit, safar, atau orang yang lanjut usia.
Pendapat Pertama : Qadha' Saja
Ini adalah pendapat Imam Abu Hanifah dan ulama lainnya yang sejalan dengan beliau. Pendapat yang pertama ini mengqiyaskan wanita hamil dan menyusui seperti orang yang sakit, yaitu kondisi sakit yang masih memungkin untuk sembuh.
Sebagaimana mereka yang sakit harus mengqadha’ atau mengganti sejumlah puasa yang ditinggalkan ketika sudah sembuh dari sakitnya, pun begitu bagi ibu hamil dan menyusui mereka juga diwajibkan untuk mengganti puasa yang ditinggalkan pada hari lainnya.

Pendapat ini berdasarkan firman Allah sebagai berikut:
أَيَّامًا مَعْدُودَاتٍ فَمَنْ كَانَ مِنْكُمْ مَرِيضًا أَوْ عَلَى سَفَرٍ فَعِدَّةٌ مِنْ أَيَّامٍ أُخَرَ
Artinya: (yaitu) dalam beberapa hari yang tertentu. Maka jika di antara kamu ada yang sakit atau dalam perjalanan (lalu ia berbuka), maka (wajiblah baginya berpuasa) sebanyak hari yang ditinggalkan itu pada hari-hari yang lain. (Al-Baqarah: 184)
Pendapat Kedua : Fidyah Saja
Ini adalah pendapat Ibnu Umar, Ibnu Abbas, Ibnu Jubair yang menilai bahwa  ibu hamil atau menyusui seperti mereka yang sudah lanjut usia, dan seperti mereka yang sakit namun termasuk dalam katagori sakit yang tidak diharapkan kesembuhannya.
Sebagaimana mereka yang sudah lanjut usia, karena lemah fisiknya mereka dibolehkan berbuka dan mereka diwajibkan membayar fidyah saja, tanpa harus mengganti puasa dihari lainnya, pun begitu dengan ibu hamil dan menyusui mereka hanya diminta membayar fidyah juga.
Sebagaimana firman Allah berikut:
وَعَلَى الَّذِينَ يُطِيقُونَهُ فِدْيَةٌ طَعَامُ مِسْكِينٍ
“Dan wajib bagi orang-orang yang berat menjalankannya (jika mereka tidak berpuasa) membayar fid-yah, (yaitu): Memberi makan seorang miskin” (Al-Baqarah : 184)
Diriwayatkan oleh Abdur Rozzaq dalam Mushannaf-nya bahwa sekali waktu Ibnu Umar ditanya perihal perempuan hamil dibulan puasa, beliau menjawab:
تفطر وتطعم كل يوم مسكينا
“dia boleh berbuka, dan membayar fidyah untuk orang miskin”
Diriwayatkan dari Ibnu Abbas bahwa beliau pernah meminta perempuan hamil untuk berbuka dibulan puasa dan berkata:
أنت بمنزلة الكبير لا يطيق الصيام، فافطري، وأطعمي، عن كل يوم نصف صاع من حنطة
“Kalian seperti orang yang sudah lanjut usia yang sudah tidak kuat untukberpuasa, maka berbuka saja, dan berilah makan orang miskin  (membayar fidyah) disetiap hari yang ditinggalkan setengah sho’ dari hinthah” 
Jika mereka tidak berpuasa di bulan Ramadhan sebab mengkhawatirkan kondisi dirinya ataupun bayinya, maka harus membayar Fidyah tanpa perlu mengqadha’.
Pendapat Ketiga : Qadha' dan Fidyah
Pendapat ini sangat masyhur di negri kita Indonesia khususnya, ini adalah pendapat dari madzhab Syafi’i dan ulama-ulama lainnya yang menilai bahwa ibu hamil dan menyusui itu sama dengan orang sakit dan juga orang yang terbebani dalam melakukan puasa.
Untuk itu kondisi hamil dan menyusui ini diqiyaskan kepada dua kondisi tersebut, karenya apabila ibu hamil dan menyusi  tidak berpuasa di bulan Ramadhan, maka mereka harus mengqadha’ puasa tersebut dan juga membayar fidyah.
Pendapat ini adalah penggabugan antara pendapat pertama dan kedua. Syaikh Yusuf Al-Qaradhawi dalam kitabnya Taisir Al-Fiqh (Fiqhu As-Shiyam), hal. 72 meyakini bahwa ini adalah pendapat mayoritas ulama.
Dilain pihak, pendapat ketiga ini dinilai lebih selamat, karena telah menggabungkan antara pendapat pertama dan kedua, walaupun dalam waktu yang bersamaan juga dinilai agak memberatkan.
Pendapat Keempat : Membedakan Antara Hamil dan Menyusui
Ini adalah pendapat dalam madzhab Maliki, mereka membedakan antara ibu hamil dan menyusui. Untuk kondisi hamil mereka mengqiyaskan dengan kondisi sakit, sedangkan untuk kondisi menyusui mereka mengqiyaskannya dengan kondisi sakit plus kondisi lanjut usia yang sudah tidak kuasa berpuasa.
Karena diqiyaskan dengan mereka yang sakit, maka ibu hamil yang tidak berpuasa diwajibkan atas mereka untuk mengganti puasa yang ditinggalkan tersebut dihari-hari diluar bulan Ramadhan, dan karena kondisi menyusui diqiyaskan dengan kondisi sakit dan lanjut usia, maka bagi ibu yang sedang menyusui anaknya yang tidak berpuasa Ramadhan kewajibannya adalah meng-qadha’ puasa tersebut sekaligus juga membayar fidyah. 
Pendapat Al-Qaradhawi
Menarik apa yang ditulis oleh Syaikh Yusuf Al-Qaradhawi dalam menyikapi perbedaan diatas. Beliau berpendapat dalam kitabnya Taisir Al-Fiqh (Fiqhu As-Shiyam), hal. 74, bahwa untuk perempuan yang hamilnya sangat rutin dengan fase kehamilan yang sangat dekat jaraknya, maka pendapat Ibnu Umar dan Ibnu Abbas bisa menjadi acuan.
Namun untuk perempuan sekarang, yang masa kehamilannya sangat jarang, terlebih dunia medis sekarang sudah menemukan jalan untuk penjarangan kehamilan, apalagi bagi mereka yang hamilnya hanya dua atau tiga kali saja dalam hidupnya, maka untuk kasus seperti ini ada baiknya mengambil pendapat mayoritas ulama, untuk bisa meng-qadha’ puasa dan juga membayar fidyah.
Jadi dalam memberikan hukum juga mempertimbangkan keringanan (mura’aha at-takhfif) dan menghilangkan kesulitan yang berlebihan (raf’u al-masyaqqah az-za’idah) bagi perempuan yang hamil dan menyusui.
Namun karena wilayah ini adalah wilayah khilaf diantara ulama, maka hendaknya kita sikapi dengan luwes saja. Bagi mereka yang meyakini bahwa pendapat ketiga adalah pendapat yang kuat, tentunya tidak boleh menyalahkan jika ada diantara kita yang menilai bahwa pendapat kedualah yang paling kuat. 
Wallahu A’lam Bishshawab.