Ibu Hamil dan Menyusui Boleh Berbuka
Tidak
ada penjelasan khusus tentang masalah ini didalam Al-Quran, bahkan QS.
Al-Baqarah:184 tidak menyebutkan kondisi hamil dan menyusui secara jelas
sebagai alasan yang dengannya dibolehkan berbuka pada bulan Ramadhan. Al-Quran
hanya menyebutkan tiga kondisi saja; sakit, safar, dan lemah (lanjut usia).
Namun
walau demikian tidak serta-merta bahwa apa yang tidak ada dalam Al-Quran lalu
kemudian bisa disimpulkan bahwa untuk kondisi hamil dan menyusui tetap wajib
berpuasa dan tidak boleh berbuka. Al-Quran memang tidak menjelaskan secara
khusus, namun hadits Rasulullah SAW melengkapi penjelasannya.
Dalam
fikih puasa penjelasan tentang perihal puasa perempuan lebih lebih banyak dari
pada pembahasan puasa laki-laki, karena pada umumnya aturan puasa untuk kaum
Adam juga berlaku untuk mereka, dan selanjtnya ada aturan-aturan khusus bagi
perempuan yang tidak berlaku bagi laki-laki.
Dalam
kondisi hamil, kadang perempuan mengkhawatirkan kondisi bayi yang berada dalam
kandungannya, kadang juga ada rasa takut terjadi apa-apa terhadap dirinya
ketika mengandung, pun begitu dengan perempuan yang menyusui, kadang waktu
khawatir dengan kesehatan bayi jika berpuasa, dilain waktu juga kadang muncul
rasa takut dengan kondsi dirinya.
Untuk
setiap kemungkinan diatas para ulama menyepakati akan kebolehan bagi mereka
untuk berbuka disiang hari pada bulan Ramadhan, dan dalam konsisi seperti ini
hadir penjelasan Rasulullah SAW:
إِنَّ اللهَ عَزَّ وَجَلَّ وَضَعَ عَنِ
المُسَافِرِ الصَّوْمَ وَشَطْرَ الصَّلاَةِ وَعَنِ الحبُْلَى وَالمرُضِعِ الصَّوْمَ
"Sesungguhnya
Allah azza wajalla meringankan musafir dari berpuasa, mengurangi (rakaat) shalat
dan meringankan puasa dari wanita yang hamil dan menyusui” (HR. Ahmad dan Ashabussunan)
Kebolehan
berbuka ini bukan berarti meniadakan kemungkinan untuk berpuasa, terlebih jika
memang kondisinya baik. Ada baiknya memang dikonsultasikan dengan dokter kandungan
sebelum memutuskan untuk berpuasa, jika memang mempunyai niat untuk itu.
Qadha
atau Fidyah
Disinilah
letak pertanyaan yang penting untuk ditanyakan, karena memang di dalam Al-Quran
sendiri tidak dijelaskan tentang ini, pun begitu dengan Hadits Rasulullah SAW.
Karena tidak ada dalil khsusus mengenai konsekwensi dari berbukanya ibu hamil
dan menyusui ini, jadi akan sangat wajar jika ada perbedaan diantara para
ulama.
Ibnu
Katsir menyebutkan didalam tafsir Al-Quran Al-Azhim, juz 1, hal 501:
ففيهما خلاف كثير بين
العلماء، فمنهم من قال: يفطران ويفديان ويقضيان. وقيل: يفديان فقط، ولا قضاء.
وقيل: يجب القضاء بلا فدية. وقيل: يفطران، ولا فدية ولا قضاء
“Bahwa
untuk kedua permasalahan ini terdapat khilaf diantara ulama; sebagian
berpendapat mereka harus membayar fidyah dan mengganti puasanya, sebagian
berpendapat cukup hanya dengan membayar fidyah saja, ada juga yang berpendapat
wajib bagi mereka qadha’ saja, dan ada juga yang lebih ekstrim lagi; tidak fidyah tidak juga qadha’
Karena
tidak ada penjelasan khsusus terkait hal ini, maka pada umumnya para ulama
berijtihad dengan menggunakan jalan qiyas, dimana kondisi hamil dan menyusui
ini diqiyaskan dengan kondisi yang sudah ada nashnya; sakit, safar, atau
orang yang lanjut usia.
Pendapat
Pertama : Qadha' Saja
Ini
adalah pendapat Imam Abu Hanifah dan ulama lainnya yang sejalan dengan beliau.
Pendapat yang pertama ini mengqiyaskan wanita hamil dan menyusui seperti orang
yang sakit, yaitu kondisi sakit yang masih memungkin untuk sembuh.
Sebagaimana
mereka yang sakit harus mengqadha’ atau mengganti sejumlah puasa yang
ditinggalkan ketika sudah sembuh dari sakitnya, pun begitu bagi ibu hamil dan
menyusui mereka juga diwajibkan untuk mengganti puasa yang ditinggalkan pada
hari lainnya.
Pendapat
ini berdasarkan firman Allah sebagai berikut:
أَيَّامًا مَعْدُودَاتٍ فَمَنْ كَانَ
مِنْكُمْ مَرِيضًا أَوْ عَلَى سَفَرٍ فَعِدَّةٌ مِنْ أَيَّامٍ أُخَرَ
Artinya:
(yaitu) dalam beberapa hari yang tertentu. Maka jika di antara kamu ada yang
sakit atau dalam perjalanan (lalu ia berbuka), maka (wajiblah baginya berpuasa)
sebanyak hari yang ditinggalkan itu pada hari-hari yang lain. (Al-Baqarah:
184)
Pendapat
Kedua : Fidyah Saja
Ini
adalah pendapat Ibnu Umar, Ibnu Abbas, Ibnu Jubair yang menilai bahwa ibu hamil atau menyusui seperti mereka yang
sudah lanjut usia, dan seperti mereka yang sakit namun termasuk dalam katagori
sakit yang tidak diharapkan kesembuhannya.
Sebagaimana
mereka yang sudah lanjut usia, karena lemah fisiknya mereka dibolehkan berbuka
dan mereka diwajibkan membayar fidyah saja, tanpa harus mengganti puasa dihari
lainnya, pun begitu dengan ibu hamil dan menyusui mereka hanya diminta membayar
fidyah juga.
Sebagaimana
firman Allah berikut:
وَعَلَى الَّذِينَ يُطِيقُونَهُ
فِدْيَةٌ طَعَامُ مِسْكِينٍ
“Dan
wajib bagi orang-orang yang berat menjalankannya (jika mereka tidak berpuasa)
membayar fid-yah, (yaitu): Memberi makan seorang miskin” (Al-Baqarah : 184)
Diriwayatkan
oleh Abdur Rozzaq dalam Mushannaf-nya bahwa sekali waktu Ibnu Umar
ditanya perihal perempuan hamil dibulan puasa, beliau menjawab:
تفطر وتطعم كل يوم مسكينا
“dia
boleh berbuka, dan membayar fidyah untuk orang miskin”
Diriwayatkan
dari Ibnu Abbas bahwa beliau pernah meminta perempuan hamil untuk berbuka
dibulan puasa dan berkata:
أنت بمنزلة الكبير لا يطيق الصيام،
فافطري، وأطعمي، عن كل يوم نصف صاع من حنطة
“Kalian
seperti orang yang sudah lanjut usia yang sudah tidak kuat untukberpuasa, maka
berbuka saja, dan berilah makan orang miskin
(membayar fidyah) disetiap hari yang ditinggalkan setengah sho’ dari
hinthah”
Jika
mereka tidak berpuasa di bulan Ramadhan sebab mengkhawatirkan kondisi dirinya
ataupun bayinya, maka harus membayar Fidyah tanpa perlu mengqadha’.
Pendapat
Ketiga : Qadha' dan Fidyah
Pendapat
ini sangat masyhur di negri kita Indonesia khususnya, ini adalah pendapat dari
madzhab Syafi’i dan ulama-ulama lainnya yang menilai bahwa ibu hamil dan
menyusui itu sama dengan orang sakit dan juga orang yang terbebani dalam
melakukan puasa.
Untuk
itu kondisi hamil dan menyusui ini diqiyaskan kepada dua kondisi tersebut,
karenya apabila ibu hamil dan menyusi
tidak berpuasa di bulan Ramadhan, maka mereka harus mengqadha’ puasa
tersebut dan juga membayar fidyah.
Pendapat
ini adalah penggabugan antara pendapat pertama dan kedua. Syaikh Yusuf
Al-Qaradhawi dalam kitabnya Taisir Al-Fiqh (Fiqhu As-Shiyam),
hal. 72 meyakini bahwa ini adalah pendapat mayoritas ulama.
Dilain
pihak, pendapat ketiga ini dinilai lebih selamat, karena telah menggabungkan
antara pendapat pertama dan kedua, walaupun dalam waktu yang bersamaan juga
dinilai agak memberatkan.
Pendapat
Keempat : Membedakan Antara Hamil dan Menyusui
Ini
adalah pendapat dalam madzhab Maliki, mereka membedakan antara ibu hamil dan
menyusui. Untuk kondisi hamil mereka mengqiyaskan dengan kondisi sakit,
sedangkan untuk kondisi menyusui mereka mengqiyaskannya dengan kondisi sakit plus
kondisi lanjut usia yang sudah tidak kuasa berpuasa.
Karena
diqiyaskan dengan mereka yang sakit, maka ibu hamil yang tidak berpuasa
diwajibkan atas mereka untuk mengganti puasa yang ditinggalkan tersebut
dihari-hari diluar bulan Ramadhan, dan karena kondisi menyusui diqiyaskan
dengan kondisi sakit dan lanjut usia, maka bagi ibu yang sedang menyusui
anaknya yang tidak berpuasa Ramadhan kewajibannya adalah meng-qadha’ puasa
tersebut sekaligus juga membayar fidyah.
Pendapat
Al-Qaradhawi
Menarik
apa yang ditulis oleh Syaikh Yusuf Al-Qaradhawi dalam menyikapi perbedaan
diatas. Beliau berpendapat dalam kitabnya Taisir Al-Fiqh (Fiqhu
As-Shiyam), hal. 74, bahwa untuk perempuan yang hamilnya sangat rutin
dengan fase kehamilan yang sangat dekat jaraknya, maka pendapat Ibnu Umar dan
Ibnu Abbas bisa menjadi acuan.
Namun
untuk perempuan sekarang, yang masa kehamilannya sangat jarang, terlebih dunia
medis sekarang sudah menemukan jalan untuk penjarangan kehamilan, apalagi bagi
mereka yang hamilnya hanya dua atau tiga kali saja dalam hidupnya, maka untuk
kasus seperti ini ada baiknya mengambil pendapat mayoritas ulama, untuk bisa
meng-qadha’ puasa dan juga membayar fidyah.
Jadi
dalam memberikan hukum juga mempertimbangkan keringanan (mura’aha at-takhfif)
dan menghilangkan kesulitan yang berlebihan (raf’u al-masyaqqah az-za’idah)
bagi perempuan yang hamil dan menyusui.
Namun
karena wilayah ini adalah wilayah khilaf diantara ulama, maka hendaknya kita
sikapi dengan luwes saja. Bagi mereka yang meyakini bahwa pendapat
ketiga adalah pendapat yang kuat, tentunya tidak boleh menyalahkan jika ada
diantara kita yang menilai bahwa pendapat kedualah yang paling kuat.
Wallahu
A’lam Bishshawab.