Senin, 30 Maret 2015

IBLIS DAN SEORANG LELAKI

Sepasang Suami isteri  awalnya hidup tenteram dan mereka taat kepada perintah Tuhan, meskipun melarat. Segala yang dilarang Allah  Subhaanahu Wa Ta’ala dihindari, dan ibadah mereka tekun sekali. Si Suami adalah seorang yang alim yang taqwa dan tawakkal. Tetapi sudah beberapa lama isterinya mengeluh terhadap kemiskinan yang tiada habis-habisnya itu. Ia memaksa suaminya agar mencari jalan keluar. Ia membayangkan alangkah senangnya hidup jika segala-galanya serba cukup.

Pada suatu hari, lelaki yang alim itu berangkat ke ibu kota dengan mencari pekerjaan. Di tengah perjalanan dia melihat sebatang pohon besar yang tengah dikerumuni orang. Diapun mendekat. Ternyata orang-orang itu sedang memuja-muja pohon yang konon keramat dan sakti itu. Banyak juga kaum wanita dan pedagang-pedagang yang meminta-minta agar suami mereka setia atau dagangnnya laris.

“Ini syirik,” fikir lelaki yang alim tadi. “Ini harus dibanteras habis. Masyarakat tidak boleh dibiarkan menyembah serta meminta selain Allah Subhaanahu Wa Ta’ala.” Maka pulanglah dia dengan terburu-buru. Isterinya heran, mengapa secepat itu suaminya kembali. Lebih heran lagi waktu dilihatnya si suami mengambil sebilah kapak yang diasahnya tajam. Lantas lelaki alim tadi bergegas keluar. Isterinya bertanya tetapi ia tidak menjawab. Segera dinaiki keledainya dan dipacu secepat-cepatnya ke pohon itu. Sebelum sampai di tempat pohon itu tumbuh, tiba-tiba melompat sesosok tubuh tinggi besar dan hitam. Dia adalah iblis yang menyerupai sebagai manusia.

“Hai, hendak kemana kamu?” tanya si iblis.
Orang alim tersebut menjawab, “Saya ingin menuju ke pohon yang disembah-sembah orang bagaikan menyembah Allah. Saya sudah berjanji kepada Allah akan menebang roboh pohon syirik itu.”
“Kamu tidak ada apa-apa hubungan dengan pohon itu. Yang penting kamu tidak ikut-ikutan syirik seperti mereka. Sudah pulang saja.”
“Tidak boleh, kemungkaran mesti diberantas,” jawab si alim bersikap tegas.
“Berhenti, jangan teruskan!” bentak iblis marah.
“Akan saya teruskan!”

Kerana masing-masing tegas pada pendirian, akhirnya terjadilah perkelahian antara orang alim tadi dengan iblis. Kalau melihat perbedaan badannya, seharusnya orang alim itu dengan mudah dapat dibinasakan. Namun ternyata iblis menyerah kalah, meminta-minta ampun. Kemudian dengan berdiri menahan kesakita dia berkata, “Tuan, maafkanlah kekasaran saya. Saya tak akanberani lagi mengganggu tuan. Sekarang pulanglah. Saya berjanji, setiap pagi, apabila Tuan selesai menunaikan sholat Subuh, di bawah sajadah Tuan saya sediakan uang emas empat dinar. Pulang, jangan teruskan niat Tuan itu.”

Mendengar janji iblis dengan uang emas empat dinar itu, lunturlah kekerasan dan tekad si alim tadi. Ia teringatkan isterinya yang hidup berkecukupan. Ia teringat  dengan keluh kesah isterinya yang sangat membutuhkan uang. Setiap pagi empat dinar, dalam sebulan saja dia sudah boleh menjadi orang kaya. Mengingatkan desakan-desakan isterinya itu maka pulanglah dia. Patah niatnya yang semula hendak membanteras kemungkaran.

Demikianlah, semenjak pagi itu isterinya tidak pernah marah lagi. Hari pertama, ketika si alim selesai sholat, dibukanya sajadahnya. Betul di situ terdapat empat dinar uang emas. Dia meloncat kegirangan, isterinya gembira. Begitu juga hari yang kedua. Empat dinar emas. Ketika pada hari yang ketiga, matahari mulai terbit dan dia membuka tikar sajadahnya, masih didapatinya uang itu. Tapi pada hari keempat dia mulai kecewa. Di bawah sajadahnya tidak ada apa-apa lagi keculai tikar pandan yang rapuh. Isterinya mulai marah kerana uang yang kemarin sudah dihabiskan sama sekali.

Si alim dengan lesu menjawab, “Jangan khawatir, besok kita bakal mendapatkan delapan dinar sekaligus.” Keesokkan harinya, dengan berharap cemas suami-isteri itu bangun pagi-pagi. Selesai sholat dibuka sajadahnya tetap kosong. “Kurang ajar..! Penipu..!,” teriak si isteri. “Ambil kapak, tebanglah pohon itu.” “Ya, memang dia telah menipuku. Akan aku habiskan pohon itu semuanya hingga ke ranting dan daun-daunnya,” sahut si alim itu.

Maka segeralah ia mengeluarkan keledainya. Sambil membawa kapak yang tajam dia memacu keledainya menuju ke arah pohon yang syirik itu. Di tengah jalan iblis yang berbadan tinggi besar tersebut sudah menghadang. Matanya menyorot tajam, “Ingin kemana kamu!!!” hardiknya menggelegar.

“Akan kutebang pohon itu,” jawab si alim dengan gagah berani.
“Berhenti, jangan lanjutkan.”
“Bagaimanapun juga tidak boleh, sebelum pohon itu tumbang.”

Maka terjadi kembali perkelahian yang hebat. Tetapi kali ini bukan iblis yang kalah, tapi si alim yang terkulai. Dalam kesakitan, si alim tadi bertanya penuh heran, “Dengan kekuatan apa engkau dapat mengalahkan saya, padahal dulu engkau tidak berdaya sama sekali?”

Iblis itu dengan angkuh menjawab, “Tentu saja engkau dahulu boleh menang, kerana waktu itu engkau keluar rumah untuk Allah, demi Allah. Andaikata kukumpulkan seluruh belantaraku menyerangmu sekalipun, aku takkan mampu mengalahkanmu. Sekarang kamu keluar dari rumah hanya kerana tidak ada uang di bawah sajadahmu. Maka biarpun kau keluarkan seluruh kebolehanmu, tidak mungkin kamu mampun menjatuhkan aku. Pulang saja, kalau tidak, kupatahkan nanti batang lehermu.”

Mendengar penjelasan iblis ini si alim tadi tertegun. Ia merasa bersalah, dan niatnya memang sudah tidak ikhlas kerana Allah Subhaanahu Wa Ta’ala. Dengan lemas ia pulang ke rumahnya. Dibatalkan niat semula untuk menebang pohon itu. Ia sadar bahwa perjuangannya yang sekarang adalah tanpa keikhlasan karena Allah Subhaanahu Wa Ta’ala, dan ia sadar perjuangan yang semacam itu tidak akan menghasilkan apa-apa selain dari kesia-sia'an. Sebab tujuannya adalah kerana harta benda, melebihi keutamaan karena Allah Subhaanahu Wa Ta’ala dan agama. Bukankah bererti ia telah menyalahgunakan agama untuk kepentingan hawa nafsu semata-mata?
“Barangsiapa di antara kamu melihat sesuatu kemungkaran, hendaklah (berusaha) memperbaikinya dengan tangannya (kekuasaan), bila tidak mungkin hendaklah berusaha memperbaikinya dengan lidahnya (nasihat), bila tidak mungkin pula, hendaklah mengingkari dengan hatinya (tinggalkan). Itulah selemah-lemah iman.” (HR: Muslim)

Rabu, 25 Maret 2015


ZAKAT PROFESI / PENGHASILAN

Berikut adalah beberapa perbedaan pendapat ulama mengenai waktu pengeluaran dari zakat profesi:

  1. Pendapat As-Syafi'i dan Ahmad mensyaratkan haul (sudah cukup setahun) terhitung dari kekayaan itu didapat
  2. Pendapat Abu Hanifah, Malik dan ulama modern, seperti Muh Abu Zahrah dan Abdul Wahab Khalaf mensyaratkah haul tetapi terhitung dari awal dan akhir harta itu diperoleh, kemudian pada masa setahun tersebut harta dijumlahkan dan kalau sudah sampai nisabnya maka wajib mengeluarkan zakat.
  3. Pendapat ulama modern seperti Yusuf Qardhawi tidak mensyaratkan haul, tetapi zakat dikeluarkan langsung ketika mendapatkan harta tersebut. Mereka mengqiyaskan dengan Zakat Pertanian yang dibayar pada setiap waktu panen. (haul:lama pengendapan harta)

Rumus Perhitungan Zakat Profesi / Pekerjaan


Zakat Profesi = 2,5% x (Penghasilan Total - Pembayaran Hutang / Cicilan)
Menghitung Nisab Zakat Profesi = 520 x harga beras pasaran perkg


Contoh Perhitungan Dalam Zakat Profesi : 
Jika Bang Jarwo punya gaji 2 juta perbulan dan penghasilan tambahan dari kios jualan pulsa dan perdana sebesar 8 juta perbulan maka total penghasilan Bang Jarwo sebesar 10 juta tiap bulan. Bang Jarwo membayar cicilan kredit apartemen tidak bersubsidi pemerintah sebesar 5 juta perbulan.
Harga beras sekilo yang biasa dikonsumsi yaitu sekitar Rp. 8.000,- per kilogram, sehingga nisab zakatnya adalah Rp. 4.160.000,-. Karena Bang Jarwo penghasilan bersihnya 5 juta dan ada di atas nisab, maka Bang Jarwo harus bayar zakat profesi sebesar Rp. 5 juta x 2,5% = Rp. 125.000,- di bulan itu. Untuk bulan selanjutnya dihitung kembali sesuai situasi dan kondisi yang ada.


















Selasa, 24 Maret 2015

Hidup itu, ada orang bilang, berawal dari huruf B & berakhir di D ...
B = Birth (Lahir) ...
&
D = Death (Meninggal) ...

Tetapi diantara huruf B & D
ada huruf C ...
C = Choice (Pilihan) ...

Hidup selalu menawarkan pilihan ....
Tersenyum atau marah ..
Memaafkan atau membalas ...
Mencintai atau membenci ...
Bersyukur atau mengeluh ...
Berharap atau putus asa ...
Tidak ada pilihan yg tanpa konsekuensi ...

Namun Tuhan selalu memberi yg terbaik.
RENCANA kita boleh INDAH, tapi rencana TUHAN-lah yg
TERINDAH ...

HIDUP kita mungkin baik2 saja, tapi hidup BERSAMA-NYA lebih
SEMPURNA ...
PEKERJAAN kita mungkin MENJANJIKAN, tapi BERKAH-NYA-lah
yg menjadikan KAYA ...

KEKUATAN tangan kita mungkin sanggup membawa kita menjadi
orang HEBAT, tapi hanya BERSAMA-NYA, kita menjadi LUAR BIASA ...

Sebab DIA bukan hanya MENCUKUPI apa yg kita perlukan, tapi DIA juga memberi dengan BERKELIMPAHAN.
Aamiin Yaa Rabbal 'Aalamiin

Ternyata cuma hanya 1,5 jam saja kita hidup di dunia ini
Mari kita lihat berdasarkan Al-Qur'an

1 hari akhirat = 1000 tahun .. (QS Al-Hajj :47)
24 jam akhirat = 1000 tahun ..
3 jam akhirat = 125 tahun .....
1,5 jam akhirat = 62,5 tahun ..

Apabila umur manusia itu rata2 60-70 tahun, maka hidup manusia ini jika dilihat dari langit hanyalah 1,5 jam saja. 
Pantaslah kita selalu diingatkan masalah waktu.

Ternyata hanya satu setengah jam saja yg akan menentukan kehidupan abadi kita kelak, hendak di Surga atau Neraka
(QS Fathir :15, An-Nisa :170)

Cuma satu setengah jam saja cobaan hidup, maka bersabarlah (QS Al-Muddaththir :7, At-Thur :48, Az-Zumar :10)
Demikian juga hanya satu setengah jam saja kita harus menahan nafsu & mengganti dengan sunnahNya (QS Yusuf :53, Al-Ahzab :38)
"Satu Setengah Jam"
sebuah perjuangan yg teramat singkat & Allah akan mengganti dengan surga Ridha Allah (QS At-Tawbah :72, Al-Bayyinah :8, An-Nisa :114)

Maka berjuanglah untuk mencari bekal perjalanan panjang nanti (QS Al-Hashr :18, Ash-Shura :20, Ali-Imron :148, Al-Qashas :77)
Allah berfirman : "Kamu tidak tinggal (dibumi) melainkan sebentar saja, kalau kamu sesungguhnya mengetahui" (QS Al-Mu'minuun :114).

Kamis, 19 Maret 2015

Negeri Teka-Teki


Jangan tanya, tebak saja 

Jangan tanya apa 
Jangan tanya siapa 
Jangan tanya mengapa 
Tebak saja 
Jangan tanya apa yang terjadi 
Apalagi apa yang ada dibalik kejadian 
Karena disini yang ada memang 
Hanya kotak-kotak teka-teki silang 
Dan daftar pertanyaan-pertanyaan 
Jangan tanya mengapa 
Yang disana dimanjakan 
Yang disini dihinakan, tebak saja 
Jangan tanya siapa 
Membunuh buruh dan wartawan 
Siapa merenggut nyawa yang dimuliakan Tuhan 
Jangan tanya mengapa, tebak saja 
Jangan tanya mengapa 
Yang disini selalu dibenarkan 
Yang disana selalu disalahkan, tebak saja 
Jangan tanya siapa 
Membakar hutan dan emosi rakyat 
Siapa melindungi penjahat keparat 
Jangan tanya mengapa, tebak saja 
Jangan tanya mengapa 
Setiap kali terjadi kekeliruan 
Pertanggungjawabannya tak karuan 
Tebak saja 
Jangan tanya siapa 
Beternak kambing hitam 
Untuk setiap kali dikorbankan, tebak saja 
Jangan tanya siapa 
Membungkam kebenaran 
Dan menyembunyikan fakta 
Siapa menyuburkan kemunafikan dan dusta 
Jangan tanya mengapa, tebak saja 
Jangan tanya siapa 
Jangan tanya mengapa 
Jangan tanya apa-apa 

Tebak saja 



“GURU MONYET, BUKAN GURU BIASA” yang ditulis oleh Astvat-ereta, begitu nama penanya.

Buku yang sangat menginspirasi siapa saja yang membacanyaDalam pengantarnya dengan judul “Guru adalah Profesi Manusia Setengah Dewa” oleh Munif Chatib (penulis buku-buku pendidikan best seller). Ia menyampaikan bahwa dalam islam guru disebut Murabbiy, Mu’addib atau mu’allim.

Pertama, guru itu Murabbiy, yaitu orang yang selalu memelihara (Al-qur’an surat Al-Israa : 102 ) Memelihara itu tidak sederhana, ia memiliki unsure menjaga dari kerusakan. Jadi guru sebenranya harus menjadi “agent of change” (ga Cuma mahasiswa yaa) :p iya rela menerima anak didiknya dalam keadaan apapun atau apa adanya bukan ada apanya J. Jadi tugas agent of change ini adalah mengubah dari yang negatif menjadi positif. yang buruk jadi baik, yang bauk semakin baik. Ketika guru membedakan anak didiknya (misalnya anak pintar dan tidak pintar)maka perannya sebagai murabbiy GUGUR. L

Kedua,Guru adalah mu’addib yaitu orang yang melakukan pekerjaan mendidik. Mendidik cenderung mengarah pada akhlakul karimah anak didik, dan syarat mutlakia mampu terpenuhi adalah akhlak sang pendidik lebih dahulu harus baik Hal ini berkenaan bahwa seorang pendidik adalah “uswatun hasanah” atau tauladan bagi anak didiknya. Tentu hal ini jelas tak bisa hanya diselesaikan dengan mata pelajaran IPS maupun IPA.

Ketiga, Guru adalah Mu’allim, yaitu orang yang mengajarkan sesuatu. Sudah jelas seorang guru mengajarkan sesuatu yang anak didiknya belum tahu, seperti membaca, menulis atau menghitung. Hal ini menurut Munif Chatib adalah berkaitan dengan melatih keterampilan dan kecakapan hidup anak didiknya. Menurutnya ketiga fungsi ini bertahap yaitu mu’allim, mu’addib lalu yang tertinggi adalah murabbiy.

Lalu apakah kita hanya akan menjadi guru yang biasa-biasa saja ? Semua memang butuh proses, tak semudah membalikkan telapak tangan. Masih banyak anak tangga yang harus kita lewati, tentu semua itu akan kita raih hanya dengan satu cara yaitu : TERUS BELAJAR.

(Mengenal Penyakit Hati)
  Amarah
Amarah (Arab: ghadhab) asalnya adalah hati. Yaitu: mendidihnya darah dalam hati karena sangat berhasrat untuk balas-dendam. Maksudnya adalah emosi yang tidak terkontrol. Ini adalah penyakit yang tidak baik dan harus diobati. Asal dari marah adalah mengikuti hawa nafsu. Nafsu yang tidak terkontrol karena mengikuti godaan setan yang terkutuk. Karena memang setiap orang memiliki amarah. Dan jika amarah itu dimenej dengan baik, dia akan bermanfaat. Oleh karena itu, Imam al-Ghazali membagi level (tingkatan) manusia dalam memenej emosi ke dalam tiga tingkatan:
Pertama, berlebih-lebihan dalam memusnahkan emosi/amarah (tafrith), apakah amarahnya benar-benar hilang atau lemah. Model ini tercela, karena memang tidak memiliki imunitas emosional. Oleh karenanya Imam al-Syafi’i menegaskan kejelekan level ini:
مَنِ اسْتَغْضَبَ فَلَمْ يِغضَبْ فَهُوَ حَمَارٌ
Siapa saja yang dibuat marah tetapi tidak marah, maka dia adalah keledai
Itu sebabnya, orang yang tidak memiliki amarah sama sekali, dianggap seorang orang yang “minim” sikap dan pendirian. Padahal para sahabat Nabi saw bersifat “tegas” dan memiliki pendirian yang kukuh, “…mereka memiliki sikap yang tegas di hadapan orang-orang kafir dan saling menyayangi antar sesame mereka…” (Qs. Al-Fath [48]: 29).
Kedua, tingkatan yang sangat dikuasai oleh amarah (ifrath), sehinga keluar dari control akal sehat dan agama. Sehingga, orang yang berada pada level ini tidak memiliki pandangan yang jeli, pemikiran yang cerdas, dan kebebasan untuk memilih. Pada gilirannya, tindakan yang dia lakukan menjadi terpaksa.[1] Ciri-ciri orang yang beradala di level ini, misalnya, dari lisannya keluar caci-maki, cercaan, kata-kata keji, yang sebenarnya orang-orang yang berakal sehat akan malu melakukannya. Sementara dari anggota badannya, cirinya adalah: suka memukul, menyerang, membunuh, atau bahkan melukai orang jika dia mampu dan tidak akan pernah mempedulikan akibatnya. Dan jika orang yang menjadi korban kemarahannya tidak ditemukan, amarahnya akan kembali kepada dirinya. Saat itu dia akan mengoyak pakaiannya, menampar pipinya sendiri, atau memukul tanah. Atau, bisa jadi dia malah memukul benda-benda mati atau hewan. Sedangkan pengaruhnya dalam hati adalah: dengki kepada orang yang menjadi pusat amarahnya, menyembunyikan niat jahat, mencaci-maki dengan berbagai kata-kata yang tidak baik, merasa sedih jika yang menjadi luapan emosinya merasa bahagia, berniat menyebarkan rahasia orang lain, mengolok-olok dan yang lainnya.[2]
Amarah pada level ini sangat dilarang oleh Rasulullah. Oleh karenanya, ketika seorang sahabat meminta nasehat kepada Nabi Muhammad, beliau berwasiat, “Jangan marah, jangan marah, jangan marah!” Dalam satu riwayat, Rasulullah bertanya, “Menurut kalian, siapa orang yang paling kuat? Para sahabat menjawab, “Menurut kami adalah: orang yang tidak dapat dikalahkan oleh lawan bertandingnya.” Rasul kemudian, menjawab, “Kalian keliru, yang benar adalah orang yang mampu menahan emosinya ketika amarahnya memuncak. Itulah orang paling kuat.”[3]
Ketiga, level netral (i`tidal) yang biasa disebut dengan ghirah. Ghirah ini lah yang memompa diri untuk membela “kehormatan”. Jika seseorang tidak memiliki sifat ghirah untuk membela kehormatan, maka dalam dirinya tersimpan sifat “banci” (khanutsah). Rasulullah menyatakan, “Sa’d adalah orang yang paling pencemburu. Aku lebih pencemburu daripada Sa’d, sementara Allah lebih pencemburu daripada aku.” (HR. Muttafaq ‘Alayh, dari hadits Abu Hurayrah).[4]
Sifat ghirah ini, oleh Buya Hamka (1908-1981), harus dimiliki oleh setiap Muslim. Ini lah, menurut beliau, yang disebut dengan “syaraf”, yang merasuk ke dalam darah daging bangsa Indonesia. Oleh orang Minangkabau disebutkan, “Arang tercoreng di kening. Malu tergores di muka.” Di suku Bugis terkenal dengan sifat “ganas”-nya. Di kalangan orang Melayu tersohor istilah “amok”-nya. Buya Hamka kemudian menyatakan pernyataan yang sangat menarik mengenai ghirah ini:
“Orang-orang tua memesankan kepada anak-anaknya menjaga “syaraf” dan menghidupkan “ghirah”. Jaga adikmu. Ingatlah, segala yang memakai kutang dan berambut panjang adalah saudaramu dan ibumu.”[5]
Untuk itu, kita harus dapat memenej emosi dan amarah yang ada dalam diri kita dengan sangat baik: jangan sampai tafrith maupun ifrath. Tapi bersikaplah “pertengahan” (i`tidal) agar dapat mengontrol emosi sesuai dengan tuntunan akal sehat dan agama. Namun demikian, amarah dalam Islam ada obatnya. Oleh Nabi Muhammad, orang-orang yang sedang marah dianjurkan untuk melakukan pengobatan dengan hal-hal berikut:
a.       Memaksa tabiat agar mampu meninggalkan amarah yang tak terkontrol (“dan orang-orang yang dapat meredam amarahnya”[6] dan “mereka yang jika marah segara memberi maaf”.[7]
b.      Berwudu’. Karena amarah merupakan batu api neraka. Dan api dapat dipadamkan dengan air. “Bersuci adalah payung iman” dan “Wudu’ adalah senjata seorang Mu’min”.
c.       Jika seseorang ketika marah dalam keadaan berdiri, hendaklah dia duduk. Dan jika dia duduk (masih juga marah), hendaklah berbaring.
d.      Jika marah, jangan ngomong sepatah-kata pun.
e.       Hendaklah dia mengingat-ingat pahal orang-orang yang dapat menahan amarahnya dan orang-orang yang mampu memaafkan orang lain dan bersikap terbuka.[8]


[1]Imam al-Ghazali, Ihya’ ‘Ulum al-Din, 3: 172-173.
[2]Ibid., 3: 172-173.
[3]Imam Jamaluddin al-Qasimi, Maw`izhat al-Mu’minin min Iha’ ‘Ulum al-Din, 2: 36.
[4]Ibid., 3: 174. 
[5]Prof. Dr. Hamka, Ghirah dan Tantangan terhadap Islam (Jakarta: PT Pustaka Panimas, 1982), hlm. 2-3.
[6]Qs. Ali ‘Imran [3]: 134. 
[7]Qs. Al-Syura [42]: 37.
[8]Lihat lebih detail, Dr. ‘Aidh ibn Abdullah al-Qarni, La Tahzan (Riyadh-Saudi Arabia: Maktabah al-‘Obeikan, cet. XIX, 222. 

Rabu, 18 Maret 2015


(Mengenal Penyakit Hati)

Riya'
Riya itu, menurut Imam al-Ghazali (w. 505 H/1111 M) berkaitan dengan dua hal penting, yaitu: gila hormat dan popularitas (hub al-jah wa al-syuhrah).[1] Itu sebabnya, dalam Islam, riya’ hukumnya “haram” dan pelakunya sangat dibenci Allah (mamquth). Sehingga banyak sekali ayat Al-Qur’an yang menegaskan hal ini. Diantaranya adalah Firman Allah, “Celakalah orang-orang yang shalat. Yaitu (mereka) yang lalai dalam shalatnya. Yang berlaku riya’ di dalam melakukannya.” (Qs. Al-Ma’un [107]: 4-6).[2]
Dalam makna yang sangat sederhana, riya’ ini dapat dimaknai dengan “pamer”: suka dilihat orang dan senang dipuji. Tempat riya’ ini adalah hati. Itu sebabnya ia sukar dideteksi, kecuali oleh orang-orang yang diikhlaskan oleh Allah hatinya. Sehingga dia merasa bahwa dirinya sedang tidak ikhlas alias riya’. Jadi, riya’ adalah penyakit hati yang sangat berbahaya. Karena dapat menjangkiti siapa saja, karena manusia memiliki sifat ingin dipuji, dihormati dan diagungkan. Padahal riya’ merupakan penyakit hati yang amat tersembunyi. Hal ini, misalnya, dijelaskan oleh Rasulullah saw dalam satu sabdanya di bawah ini:
إِنَّ أَخْوَفَ مَا أَخَافُ عَلَى أُمَّتِى الرِّيَاءُ والشَّهْوَةُ الخَفَيَّةُ الَّتِـى هـِىَ أَخْفـَى مِنْ دِبِيْبِ النَّمْلَةِ السَّوْدَاءِ عَلَى الصَّخْرَةِ الصَّمَّاءِ فــِى اللَّيْلَةِ الظُّلْمَاءِ
Sungguh, yang amat aku takutkan dari ummatku adalah: riya’ dan syahwat yang tersembunyi. Ia lebih tak kelihatan dari jalan semut hitam di atas batu yang hitam di malam gelap gulita (HR. Ibn Majah, al-Hakim, dari hadits Syadad ibn Aws).[3]
Jadi, orang yang riya’ sejatinya menyembunyikan ketidak-ikhlasan. Amal-perbuatannya selalu ingin dilihat orang, dipuji, disebarkan, dibesar-besarkan. Padahal ini akan menyiksa perasaannya, karena amalnya dipersembangkan untuk makhluk, bukan untuk Sang Khaliq. Untuk itu, kata Aa Gym, beruntunglah orang-orang yang tidak disiksa oleh kerinduan untuk dipuji dan dihormati oleh orang lain. Kalau kita mau jujur, kita akan sengsara karena terlalu banyak memikirkan penilaian orang lain. Jika perkara duniawi dan ukhrawi (akhirat) dilakukan hanya untuk mendapat pujian, penghormatan dan penilaian manusia, maka sesungguhnya kita telah diserang penyakit riya’.[4]
Itu sebabnya penyakit ini harus cepat diobati. Dan obatnya adalah ikhlas. Kita harus yakin bahwa meskipun tidak dilihat oleh makhluk, di dekat kita ada Allah yang Mahamelihat segala amal dan perbuatan kita. Mari kita belajar menata niat, karena niat kata Imam Ibn Taimiyah (w. 728 H) merupakan inti amal-saleh. Yaitu keikhlasan hamba karena Allah. Karena itulah, menurut beliau, ulama salaf suka mengawali majelis dan kitab mereka dengan hadis: “Perbuatan itu tergantung pada niatnya.”[5] Untuk itu, mari kita renungkan pendapat al-Harits al-Muhasibi di bawah ini:
“Orang yang tulus adalah orang yang tak peduli bila makhluk menilai lain dirinya demi menjaga hatinya. Tak pula senang bila orang-orang mengetahui kebaikannya walau setitik. Dan tak pula benci bila orang-orang mengetahui keburukannya.”[6]


[1]Lihat, Imam Abu Hamid Muhammad ibn Muhammad al-Ghazali, Ihya’ ‘Ulum al-Din, 4 Jilid (Beirut-Lebanon: Dar al-Fikr, 1428-1429 H/2008 M), 3: 281. 
[2]Syekh Muhammad Jamaluddin al-Qasimi al-Dimasyqi, Maw`izhat al-Mu’minin min Ihya’ ‘Ulum al-Din, 2 Jilid dalam 1 Volume (Jakarta: Dar al-Kutub al-Islamiyyah, 1426 H/2005), 2: 66.
[3]Lihat, Imam al-Ghazali, Ihya’ ‘Ulum al-Din, 3: 281. Lihat juga, Imam Jalaluddin al-Qasimi, Maw`izhat al-Mu’mini min Ihya’ ‘Ulum al-Din, 2: 66.
[4]KH. Abdullah Gymnastiar, Menggapai Qalbun Saliim: Bengkel Hati Menuju Akhlak Mulia (Gegerkalong Girang-Bandung: Khas MQ, cet. III, 1427 H/2006 M), hlm. 29.
[5]Izza Rohman Nahrawi (ed.), Ikhlas Tanpa Batas: Belajar Hidup Tulus dan Wajar kepada 10 Ulama-Psikolog Klasik (Jakarta: Zaman, 2010), hlm. 17.
[6]Ibid., hlm. 32-33. 

Senin, 16 Maret 2015

يَا بَدْرَتِمْ
Ya Badrotim
(Wahai bulan purnama)

يَا بَدْرَتِمٍّ حَازَ كُلَّ كَمَـالِ
Ya Badrotim ya badrotimmin haza kulla kamaali
(Wahai bulan purnama yang telah
mencapai segala puncak kesempurnaan!)

مَا ذَا يُعَبِّرُ عَنْ عُلاَكَ مَقَالِيْ
Maaza yu'a maaza yu'abbiru ‘an 'ulaaka maqoalii
(Bagaimana kata-kataku mampu
mengungkapkan ketinggian sifat-sifatmu?)

أَنْتَ الََّذِيْ أَشْرَقْتَ فِيْ أُفُقِ الْعُـلا
Antallazii asyraqta fii ufuqil 'ulaa (2x)
(Engkaulah yang telah terbit mentari
ilmumu di ufuk ketinggian dan kemuliaan,)

فَمَحَوْتَ بِالأَنْوَارِ كُلَّ ضَلاَلِ
Famahawta bil anwaari kulla dholaali (2x)
(Lalu dengan cahaya syariatmu
telah engkau lenyapkan segala kesesatan.)

وَبِكَ اسْتَنَارَ الْكَوْنُ يَا عَلَمَ الْهُدَى
Wa bikas tanaarol kaunu yaa ‘alamal hudaa (2x)
(Dengan kelahiranmu alam semesta
terang bersinar wahai ‘Gunung Petunjuk’,)

بِالنُّوْرِ وَالإِنْعَـامِ وَالإِفْضَالِ
Bin nuuri wal in ‘aami wal ifdhoali (2x)
(Bersinar dengan cahaya,
kenikmatan dan pelbagai kurnia.)

صَلَّى عَلَيْكَ اللََّهُ رَبِّ دَآئِمًا
Solla ‘alaikallahu robbii robbii daa’iman (2x)
(Semoga Allah Tuhanku melimpahkan
rahmat ke atasmu selama-lamanya,)

أَبَدًا مَعَ الإِبْكَـارِ وَالآصَـالِ
Abadan ma'al ibkaari wal asoalii (2x)
(Di waktu pagi dan petang,
dan sepanjang masa.)

وَعَلَى جَمِيْعِ الآلِ وَالأَصْحَابِ مَنْ
Wa ‘alaa jami‘il aali wal as-haabi man (2x)
(Semoga rahmatNya dilimpahkan jua ke atas
seluruh keluarga dan sahabatmu iaitu orang-orang yang,)


قَدْ خَصَّهُمْ رَبُّ الْعُلاَ بِكَمَالِ
Qod khossohum robbul ‘ulaa bi kamaali (2x)
(Telah dikurniakan keistimewaan dengan kesempurnaan
oleh Tuhan yang memiliki segala sifat ketinggian dan kemuliaan.)