Selasa, 15 September 2015

MENCEGAH & BEBAS PENYAKIT ASAM URAT (GOUT) DENGAN POLA MAKAN MINUM SEHAT


Penyakit radang sendi ini sudah dikenal sejak 2000 tahun lalu, dan menjadi salah satu penyakit tertua yang dikenal manusia. Pada zaman Hippocrates, penyakit ini dikenal sebagai penyakit para raja (The disease of kings), karena biasanya penyakit ini terjadi pada kalangan istana, bangsawan & keluarga kaya. Penyakit ini di sebabkan oleh kebiasaan mengkonsumsi makanan dan minuman enak, mahal dan eksklusif. Terutama orang dengan gaya hidup banyak duduk kurang beraktivitas, serta penggemar makanan yang tinggi lemak, protein dan gula.

Gout adalah jenis penyakit artritis yang di sebabkan meningkatnya kadar asam urat dalam darah dan urin. Kadar asam urat yang tinggi akan membentuk timbunan kristal berupa garam urat (monosodium urat) di persendian yang menyebabkan peradangan sendi. Hal ini di cirikan / ditandai dengan kulit yang membengkak dan serangan rasa nyeri yang tiba-tiba pada lutut, jari kaki, tangan siku, pergelangan kaki dan tangan. Seperti pada saat bangun tidur ibu jari dan pergelangan kaki terasa terbakar, sakit dan bengkak.

Tingginya kadar asam urat dalam darah disebabkan oleh metabolisme purin (substansi organik dalam makanan, terutama sumber protein) yang abnormal di dalam tubuh. Gout di sebabkan oleh peningkatan kadar asam urat yang berlebihan dalam darah (hyperuricaemia). Tingginya asupan purin dari makanan, dan ginjal gagal membuang asam urat lewat urine. Lebih parah lagi jika penimbunan terjadi dalam ginjal, karena akan membentuk batu ginjal dari kristal asam urat.

Oleh karena itu salah satu cara agar terhindar dari gout adalah dengan menjaga kadar asam urat dalam darah tetap normal, yaitu 5-7 mg/dl. Batasan tertinggi bagi pria adalah 6,5 mg/dl, sedangkan untuk wanita 5,5 mg/dl, jika melebihi batas ini biasanya akan terjadi pengkristalan.

Makanan tinggi purin dan protein terbukti sebagai penyebab meningkatnya resiko gout. Dari hasil penelitian Dr. Hyon H Choi selama 12 tahun, menunjukan bahwa orang yang banyak mengkonsumsi daging merah memiliki resiko 40% lebih tinggi mengalami gout di banding orang yang sedikit mengkonsumsi daging. Sedangkan orang yang banyak makan seafood memiliki resiko 50% lebih tinggi mengalami gout. Daging merah dan makanan laut merupakan sumber protein alami yang kaya akan purin.

Pola Diet Yang Sesuai Bagi Penderita Asam Urat Harus Memenuhi persyaratan sebagai berikut :

1. Hindari Makanan Tinggi Lemak

Lemak dapat menghambat pengeluaran asam urat melalui urine. Konsumsi makanan yang di goreng, bersantan, margarin dan mentega sebaiknya di hindari. Konsumsi lemak sebaiknya dibatasi sebanyak 15 % dari total kalori yang di konsumsi dalam sehari.

2. Batasi Asupan Purin

Jika terjadi pembengkakan dan nyeri sendi, maka penderita gout harus melakukan diet bebas purin. Menu makanan sehari-hari biasanya mengandung 600-1000 mg purin/hari. Bagi penderita asam urat harus di batasi hanya sekitar 100-150 mg purin/hari. Menurut kadar kandungan purin, jenis makanan bisa dibedakan menjadi 3 kelompok :

• Kelompol I
Kadar Purin Tinggi (100-1000mg purin/100mg bahan pangan), Sebaiknya dihindari, seperti otak, hati, jantung, ginjal, Jeroan, ekstrak daging/kaldu, bebek, burung dara, sarden, makarel, remis, kerang, ikan teri, alkohol, ragi, (makanan yang diawetkan).

• Kelompok II
Kadar Purin Sedang (50-100 mg purin/100mg bahan pangan), Konsumsi dibatasi maksimal 50-75 gram, seperti daging sapi, ayam, ikan, udang, kacang-kacangan kering dan hasil olahannya, seperti tahu, tempe, asparagus, bayam, daun singkong, kembang kol, kangkung, daun dan buah melinjo, buncis, kapri, jamur.

• Kelompok III
Kadar Purin Rendah (0-<50 mg purin/100mg bahan pangan), Dapat dimakan setiap hari, seperti nasi, singkong, jagung, roti whole wheat, mie, susu low fat, telur, buah-buahan (kecuali durian & alpukat), dan sayuran (kecuali sayuran dalam kelompok II).

3. Makanan Pembentuk Asam

Beberapa jenis makanan bersifat alkali (basa) terhadap sistem penyaringan ginjal dan ada juga yang bersifat asam. Proses pengeluaran asam urat akan meningkat bila urine berada dalam kondisi alkali dan sebaliknya akan menurun bila urine dalam kondisi asam. Urine memiliki pH netral 7, dan jika pH nya turun dibawah 6, maka pengeluaran asam urat akan berkurang hingga 50 %.

4. Banyak-Banyak Minum Air Setiap Hari

Mengkonsumsi cairan yang tinggi dapat membantu membuang asam urat melalui urine. Oleh karena itu anda disarankan untuk minum air minimal 2,5 liter / 10 gelas sehari. Cairan juga bisa diperoleh melalui buah-buahan segar yang mengandung banyak air, seperti semangka, melon, blewah, nanas, belimbing manis dan jambu air. Selain buah-buahan tersebut, buah-buahan yang lain juga boleh dikonsumsi karena sangat sedikit mengandung purin. Buah-buahan yang harus dihindari adalah alpukat dan durian, karena keduanya mempunyai kandungan lemak yang tinggi.

5. Konsumsi Makanan dan Minuman Yang Mengandung Karbohidrat Kompleks

Karbohidrat kompleks seperti nasi beras merah, singkong, roti whole wheat, oats, ubi, buah dan sayur-sayuran sangat baik dikonsumsi oleh penderita gangguan asam urat karena akan meningkatkan pengeluaran asam urat melalui urine. Konsumsi karbohidrat kompleks ini minimal 100gr setiap hari. Gula pasir, permen, gulali dan sirup sebaiknya dihindari karena termasuk karbohidrat sederhana, terutama gula yang diproses (refined carbohydrate) yang dapat dengan mudah meningkatkan kadar asam urat dalam darah.

6. Makan Makanan Sumber Antioksidan

Makanan tinggi vitamin C (termasuk salah satu antioksidan) misalnya paprika merah, kol merah, tomat, jeruk, strobery, cery dan lain-lain. Vitamin C adalah antioksidan yang dapat membantu mengurangi inflamasi dan dapat membantu menurunkan kadar asam urat. Buah-buahan jenis beri, misalnya ceri, strowbery, bluebery dan buah jenis beri lainnya kaya akan anthocyanidin dan flavonoid. Konsumsi 250 gran buah beri segar setiap hari dapat membantu menurunkan kadar asam urat. Antioksidan dalam buah jenis beri akan menguatkan sendi dan otot, serta mencegah pembentukan histamin dan prostaglandin penyebab nyeri sendi.

7. Batasi Makanan dan Minuman Pangan Sumber Protein

Protein terutama yang berasal dari makanan hewan-hewani dapat meningkatkan kadar asam urat dalam darah. Asam amino dari makanan tinggi protein akan menghambat pengeluaran asam urat melalui ginjal. Batas konsumsi makanan sumber protein hewani dan mengandung purin dalam jumlah yang tinggi, misalnya hati, ginjal, otak, paru dan limpa. Asupan protein yang dianjurkan bagi penderita gangguan asam urat adalah sebesar 50-70 gram perhari atau 0,8-1 gr/kg berat badan/hari. Sumber protein yang disarankan adalah protein nabati, susu, keju dan telur.

8. Tidak Makan dan Minum Mengandung Alkohol (Minuman Keras)

Penelitian menunjukan bahwa kadar asam urat orang yang mengkonsumsi alkohol lebih tinggi dibandingkan mereka yang tidak mengkonsumsi alkohol. Hal ini dikarenakan alkohol meningkatkan kadar asam laktat plasma. Asam laktat ini akan menghambat pengeluaran asam urat dari dalam tubuh lewat urine oleh ginjal. Mengkonsumsi alkohol juga meningkatkan produksi asam urat. Hindari makanan dan minuman beralkohol, tape, brem dan durian. Konsumsi alkohol dibatasi hanya 1-3 kali seminggu bagi yang masih nekat mengonsumsinya.

9. Pertahankan Berat Badan Ideal

Turunkan berat badan jika anda mengalami kelebihan berat badan. Obesitas akan meningkatkan produksi asam urat. Tapi jangan melakukan diet penurunan berat badan yang ekstrem. Asupan kalori yang terlalu sedikit juga bisa meningkatkan kadar asam urat, karena adanya produksi senyawa keton yang akan mengurangi pengeluaran asam urat melalui urine.

Selamat menjalankan pola makan dan minum yang sehat agar terbebas dari gangguan kesehatan / penyakit seperti asam urat (gout). Selain itu jangan lupa untuk menjalankan pola hidup sehat mulai dari sekarang dan seterusnya agar tubuh kita sehat selalu.

Senin, 14 September 2015

JAZZAR / JAGAL HEWAN QURBAN

Profesi sebagai jagal atau jazzar tentu harus dihargai jasanya. Sebab kalau tidak ada jagal, kita orang-orang yang awam dan tidak paham urusan menyembelih hewan akan mendapatkan kesulitan. 
Walaupun mungkin dikerjakan bersama-sama dalam satu team, tetapi tetap saja akan kerepotan. Sebab kerja menyembelih hewan itu butuh keterampilan dan keahlian tertentu dari orang yang sehari-harinya memang bekerja sebagai jagal.
Maka sebagaimana kita saksikan, walaupun suatu panitia penyembelihan hewan qurban terdiri dari banyak personal, tetap saja mereka butuh jagal yang profesional untuk mengerjakannya.
A. Memberi Upah Buat Jagal : Boleh Bahkan Harus

Dan untuk jasanya itu, para jagal ini bukan sekedar pantas menerima upah, tetapi justru wajib diberi upah yang sepadan sesuai dengan keterampilan yang dimilikinya. Sebab mereka telah bekerja dengan mengerahkan tenaga dan waktunya, maka wajib bagi panitia atau orang yang memakai jasa jagal untuk memberi mereka upah atas keringatnya.

Untuk itu sejak awal harus sudah ada kesepakatan antara panitia dan jagal tentang berapa tarif yang dia minta. Juga harus secara tegas disebutkan, apakah tugas jagal itu hanya sebatas merobohkan hewan dan menyembelih saja, ataukah diteruskan dengan menguliti, memotong, mencincang, hingga menimbang dan memasukkannya ke kantong-kantong siap untuk didistribusikan.

Termasuk apakah panitia akan memberi makan dan minum, ataukan jagal itu sendiri yang dengan uangnya akan menyiapkan makan dan minumnya. 

B. Diharamkan Upah Dari Bagian Tubuh Hewan
Yang jadi masalah bukan tidak boleh memberi jagal upah atas kerja mereka. Tetapi yang haram adalah mengupah para jagal dari bagian tubuh hewan yang telah disembelih untuk qurban. Biasanya kepala sapi dan kambing itulah yang dijadikan alat pembayaran buat para jagal, termasuk juga kulit, kaki, jeroan dan seterusnya. 

Memang dari pada dibuang, kepala, kaki, kulit dan lainnya punya nilai tersendiri. Lalu kadang panitia secara seenaknya memberikan semua itu sebagai 'jatah' buat para jagal. Dan oleh karena para jagal ini sudah dipastikan akan dapat 'jatah' yang ternyata punya nilai jual itu, maka mereka rela tidak diupah, atau setidaknya merendahkan tarif upah, asalkan bagian dari tubuh hewan itu jadi hak mereka.

Biasanya pemberian kepala, kaki dan kulit itu memang bukan semata-mata upah buat jagal, tetapi fungsinya sebagai 'tambahan' dari kekurangan upah. 

Para jagal biasanya memberikan dua penawaran. Misalnya, kalau mereka dijanjikan akan diberi jatah kepala, kaki dan kulit, maka tarif upah mereka bisa lebih rendah. Sedangkan bila mereka tidak diberi jatah semua itu, tarifnya lebih mahal dan profesional.

Dengan dua tawaran ini, biasanya panitia tidak ambil pusing, ambil saja penawaran yang pertama, yaitu upah tidak perlu terlalu mahal, karena kepala, kulit dan kaki bisa dijadikan 'tambahan' pembayaran upah. 

Padahal nyata sekali bahwa walaupun cuma kepada, kaki dan kulit, yang memang bisa saja dibuang begitu saja, namun ketika dijadikan 'bagian' atau 'tambahan' dari upah, hukumnya sama saja dengan upah itu sendiri. 

C. Dalil Larangan Upah Jagal Dari Bagian Tubuh Hewan
Larangan memberi upah buat jagal yang diambilkan dari bagian tubuh hewan jelas dan nyata serta valid. 

1. Dalil Pertama : Hadits Larangan Mengupah Jagal
Haditsnya diriwayatkan oleh ‘Ali bin Abi Thalib,dimana beliau di masa lalu pernah berperan seperti 'panitia' penyembelihan hewan qurban seperti di masa kita sekarang ini. 

Beliau saat itu juga menyewa jagal profesional dan memberikan upah yang layak, namun bukan diambilkan dari tubuh hewan itu. Beliau mengupah dengan uang yang diambilkan dari sumber lainnya.

أَمَرَنِى رَسُولُ اللَّهِ -صلى الله عليه وسلم- أَنْ أَقُومَ عَلَى بُدْنِهِ وَأَنْ أَتَصَدَّقَ بِلَحْمِهَا وَجُلُودِهَا وَأَجِلَّتِهَا وَأَنْ لاَ أُعْطِىَ الْجَزَّارَ مِنْهَا قَالَ : نَحْنُ نُعْطِيهِ مِنْ عِنْدِنَا
Rasulullah SAW memerintahkanku untuk mengurusi unta-unta qurban beliau. Aku mensedekahkan daging, kulit, dan jilalnya (kulit yang ditaruh pada punggung unta untuk melindungi dari dingin). Aku tidak memberi sesuatu pun dari hasil sembelihan qurban kepada tukang jagal. Beliau bersabda, “Kami akan memberi upah kepada tukang jagal dari uang kami sendiri”. (HR. Muslim)
Dari hadits ini, An-Nawawi rahimahullah mengatakan bahwa tidak dibolehkan untuk memberi tukang jagal yang diambilkan dari sebagian hasil sembelihan qurban sebagai upah baginya. Pendapat ini juga didukung oleh pendapat para ulama Syafi’iyahlainnya, dan juga menjadi pendapat Atha’, An-Nakha'i, Imam Malik, Imam Ahmad dan Ishaq.
2. Dalil Larangan Menjual Kulit Hewan Qurban
Dalil keharaman lainnya adalah dalil umum tentang haramnya menjual daging hewan qurban berikut ini :
مَنْ بَاعَ جِلْدَ أُضْحِيَتِهِ فَلاَ أُضْحِيَّةَ لَهُ
Orang yang menjual kulit hewan qurban, maka tidak ada qurban baginya. (HR Al-Hakim)
Hadits ini menyebutkan haramnya menjual kulit hewan qurban. Maka mengupah jagal dengan kulit atau bagian tubuh lainnya hukumnya haram. Sebab sama saja seperti kita menjualnya kepada pihak lain.
D. Pendapat Yang Membolehkan
Namun kalau kita cari-cari dalam litetur tentang adakah perbedaan pendapat dalam larangan mengupah jagal in, ternyata memang bisa kita temukan. 

Ternyata ada satu pendapat ulama yang membolehkan memberikan upah kepada tukang jagal dengan kulit, yaitu Al-Hasan Al-Bashri, yang merupakan sosok tabi'in di masa lalu. Beliau mengatakan, “Boleh memberi jagal upah dengan kulit.” 

Namun pendapat ini tentu tidak diterima oleh banyak ulama. Salah satunya Al-Imam An-Nawawi.  Beliau menyanggah pernyataan Al-Hasan Al-Bashri tersebut dan mengomentari bahwa perkataan beliau ini telah membuang sunnah.

E. Alternatif Sumber Upah
Karena mengupah jagal itu wajib, tetapi haram hukumnya kalau diambilkan dari tubuh hewan, maka panitia dalam hal ini bisa mencari sumber dana yang lain, misalnya :
1. Dari Pemilik Hewan
Yang paling mudah dan masuk akal, upah jagal diperoleh dari uang biaya penyembelihan yang memang sejak awal dikenakan kepada pemilik hewan qurban. 
Dari tiap hewan kambing yang diminta disembelihkan, pemilik hewan dikenakan biaya khusus penyembelihan di luar harga hewan, misalnya sebesar 50 ribu atau 100 ribu rupiah. 
2. Dari Keuntungan Jual Hewan
Dan bisa juga dana untuk upah jagal diambilkan dari hasil keuntungan menjual hewan qurban. Sebab panitia yang menyediakan hewan qurban memang dibenarkan mengambil untuk dari tiap hewan.
Bisa ditawarkan kambing dengan harga 2 juta dengan rentang berat sekian kilo hingga sekian kilo. Panitia tentu membeli kambing dari sumbernya tidak dengan harga 2 juta, tetapi di bawah itu, misalnya 1,5 - 1,7 juta. Ada keuntungan 200 hingga 300 per ekor. Keuntungan 'jual' kambing ini adalah keuntungan yang halal dan sah.
Maka dari situlah dana untuk upah jagal diambilkan dan tidak boleh diambilkan dari tubuh hewan.
3. Dari Kas Masjid
Kalau kebetulan pengurus masjid juga menjadi panitia penyembelihan hewan qurban, atas persetujuan dari jamaah masjid itu, boleh saja dana upah buat jagal diambilkan dari uang kas masjid.
Hal itu mengingat kerja panitia penyembelihan hewan qurban dijadikan bagian dari program kerja masjid. Maka wajar kalau sejak awal memang sudah dianggarkan dari uang kas masjid. 
Tentu saja penggunaan dana kas masjid untuk mengupah jagal ini harus disepakati dulu sejak awal, agar jelas dasar hukumnya dan tidak dianggap sebagai kebocoran atau pengkhianatan pengurus dalam penggunaan uang kas masjid. 

F. Mengubah Kebiasaan Panitia dan Pengurus
Kalau ada panitia penyembelihan hewan qurban atau pengurus masjid yang suka bertengkar dan berbeda pendapat, tentu hal itu sudah biasa terjadi. Bahkan secara bercanda sering disebutkan bahwa pertengkaran itu termasuk bagian dari visi misi dan program kerja unggulan dari pengurus. 
Kalau ditanya, pengurus punya program kerja apa? Jawabnya mudah saja : bertengkar dan berselisih pendapat secara internal. Waduh . . .
Tentu kita tidak ingin kerja pengurus hanya bertengkar dan bertengkar saja, walau pun memang pada kenyataannya yang terjadi sering begitu. Berselisih sudah seperti wiridan pagi dan petang.
Maka jalan keluarnya, tidak salah kalau pengurus mengundang ulama dan ahli syariah yang benar-benar menguasai dan membidangi masalah qurban ini. Lalu kita duduk dulu bersama dan mengaji secara benar dari sumber yang paten dan valid. Kita buka ayat Al-Quran, kita bedah isi hadits Rasulullah SAW, dan kita kaji fatwa dan penjelasan para ulama di dalamnya.
Toh, biar bagaimanapun pada dasarnya penyelenggaran penyembelihan hewan qurban ini pada hakikatnya adalah pengamalan dari ilmu yang kita dapat dari pengajian. Maka seharusnya kita mengaji dulu dengan benar, baru kemudian beramal dan bertindak.
Semangat menjalankan program kerja tentu harus dihargai, tetapi sebelum semuanya dilakukan, tentu akan menjadi lebih berkah lagi bila dilandasi dengan ilmu pengetahuan syariah dan fiqih yang mendalam.
Salah satu saran saya, ketika pembentukan panitia penyembelihan itu dibentuk, maka yang harus dilakukan justru bikin acara pelatihan dan kajian fiqih terlebih dahulu, khususnya untuk membahas fiqih qurban. Materinya cukup banyak dan luas, karena bisa juga termasuk bagaimana tata cara penyembelihan yang syar'i, mana yang harus dilakukan dan mana yang tidak boleh dilanggar.
Semoga ke depan kita bisa beribadah dengan pahala plus, karena ibadah kita bukan didasarkan pada ikut-ikutan, tetapi karena memang kita punya ilmunya.

Wallahu a'lam bishshawab, wassalamu 'alaikum warahmatullahi wabarakatuh, 

Ahmad Sarwat, Lc., MA

KISI - KISI UTS PKn KELAS 7, 8 DAN 9

Untuk semua kelas, baca semua soal yang sudah Pak Irwan berikan....ingat, SOAL YANG DARI PAK IRWAN YA .....Silahkan dibaca ulang / lagi....!!!!

TAMBAHAN :

  1. Kelas 7 ; baca buku paket PKn halaman 1 - 4          (KKM; 75)
  2. Kelas 8 ; baca buku paket PKn halaman 1 - 5          (KKM; 76)
  3. Kelas 9 ; baca buku paket PKn halaman 1 - 4          (KKM; 78)



SELAMAT BELAJAR !!!!!!!!!

Senin, 06 Juli 2015

Perbedaan dalam metode ijtihad


A. Sejarah singkat
Sejak masa sahabat sudah ada dua "mazhab" di kalangan mereka. Pertama, mereka yang lebih menekankan pada teks nash secara ketat. Diantara mereka adalah Ali bin Abi Thalib dan Bilal. Kedua, mereka yang menaruh unsur rasio dan pemahaman secara luas dalam memahami suatu nash. Kelompok kedua ini diantaranya adalah Umar bin Khattab dan Ibnu Mas'ud.

Dalam perkembangan selanjutnya, kedua kelompok ini menyebar dan memiliki pengaruh masing-masing. Kelompok pertama berkumpul di sekitar daerah Hijaz, sedangkan kelompok kedua berkumpul di daerah Kufah. Sejarah kemudian menceritakan kepada kita bahwa Imam Malik bin Anas tinggal di Madinah (termasuk daerah Hijaz) dan Imam Abu Hanifah tinggal di Kufah.

Imam Malik berada di lingkungan di mana masih banyak terdapat sahabat Nabi. Sedangkan Imam Abu Hanifah, sebaliknya, tinggal di lokasi di mana sedikit sekali bisa dijumpai sahabat Nabi. Fakta geografis ini menimbulkan perbedaan bagi kedua Imam dalam merespon suatu kasus.
Imam Malik bukan saja lebih banyak menggunakan hadis Nabi (yang dia terima melalui sahabat Nabi di Madinah) dibanding rasio, tetapi juga menaruh amal penduduk Madinah sebagai salah satu sumber hukumnya. Imam Abu Hanifah sangat membuka peluang penggunaan rasio dan sangat selektif (artinya, dia membuat syarat yg amat ketat) dalam menerima riwayat hadis (lebih-lebih sudah mulai berkembang hadis palsu di daerahnya). Sebagai jalan keluar dari sedikitnya hadis yang ia terima, maka Imam Abu Hanifah menggunakan Qiyas dan istihsan secara luas.

Imam Malik memiliki murid bernama Imam Syafi'i. Yang disebut belakangan ini juga nanti memiliki murid bernama Imam Ahmad bin Hanbal. Ketiganya dapatlah disebut sebagai pemuka "ahlul hadis" di Hijaz. Sedangkan Imam Abu Hanifah memiliki murid bernama Abu Yusuf dan Muhammad (nanti Imam Syafi'i berguru juga pada muridnya Muhammad, namun Imam Syafi'i lebih cenderung pada kelompok Hijaz). Kelompok Kufah kemudian dikenal dengan sebutan "ahlur ra'yi".

Harus saya tambahkan bahwa mazhab dalam fiqh tidak hanya terbatas pada empat Imam besar itu saja. Tetapi banyak sekali mazhab-mazhab itu (konon sampai berjumlah 500). Hanya saja sejarah membuktikan bahwa hanya empat mazhab itu yang bisa bertahan dan memiliki pengaruh cukup luas di dunia Islam, ditambah sedikit pengikut mazhab Zhahiri dan mazhab Ja'fari.

B. Metode Ijtihad
B.1. Imam Abu Hanifah
  1. Berpegang pada dalalatul Qur'an
    1. Menolak mafhum mukhalafah
    2. Lafz umum itu statusnya Qat'i selama belum ditakshiskan
    3. Qiraat Syazzah (bacaan Qur'an yang tidak mutawatir) dapat dijadikan dalil
  2. Berpegang pada hadis Nabi
    1. Hanya menerima hadis mutawatir dan masyhur (menolak hadis ahad kecuali diriwayatkan oleh ahli fiqh))
    2. Tidak hanya berpegang pada sanad hadis, tetapi juga melihat matan-nya
  3. Berpegang pada qaulus shahabi (ucapan atau fatwa sahabat)
  4. Berpegang pada Qiyas
    1. mendahulukan Qiyas dari hadis ahad
  5. Berpegang pada istihsan 
B.2. Imam Malik bin Anas
  1. Nash (Kitabullah dan Sunnah yang mutawatir)
    1. zhahir Nash
    2. menerima mafhum mukhalafah
  2. Berpegang pada amal perbuatan penduduk Madinah
  3. Berpegang pada Hadis ahad (jadi, beliau mendahulukan amal penduduk Madinah daripada hadis ahad)
  4. Qaulus shahabi
  5. Qiyas
  6. Istihsan
  7. Mashalih al-Mursalah
B.3 Imam Syafi'i
  1. Qur'an dan Sunnah (artinya, beliau menaruh kedudukan Qur'an dan Sunnah secara sejajar, karena baginya Sunnah itu merupakan wahyu ghairu matluw). Inilah salah satu alasan yang membuat Syafi'i digelari "Nashirus Sunnah". Konsekuensinya, menurut Syafi'i, hukum dalam teks hadis boleh jadi menasakh hukum dalam teks Al-Qur'an dalam kasus tertentu)
  2. Ijma'
  3. hadis ahad (jadi, Imam Syafi'i lebih mendahulukan ijma' daripada hadis ahad)
  4. Qiyas (berbeda dg Imam Abu Hanifah, Imam Syafi'i mendahulukan hadis ahad daripada Qiyas)
  5. Beliau tidak menggunakan fatwa sahabat, istihsan dan amal penduduk Madinah sebagai dasar ijtihadnya
B.4. Imam Ahmad bin Hanbal
  1. An-Nushush (yaitu Qur'an dan hadis. Artinya, beliau mengikuti Imam Syafi'i yang tidak menaruh Hadis dibawah al-Qur'an)
    1. menolak ijma' yang berlawanan dengan hadis Ahad (kebalikan dari Imam Syafi'i)
    2. menolak Qiyas yang berlawanan dengan hadis ahad (kebalikan dari Imam Abu Hanifah)
  2. Berpegang pada Qaulus shahabi (fatwa sahabat)
  3. Ijma'
  4. Qiyas
Kalau kita susun empat Imam mazhab itu menurut banyaknya menggunakan rasio maka urutannya adalah:
  1. Imam Abu Hanifah
  2. Imam Syafi'i
  3. Imam Malik
  4. Imam Ahmad bin Hanbal
Kalau disusun menurut banyaknya menggunakan riwayat:
  1. Imam Ahmad bin Hanbal
  2. Imam Malik bin Anas
  3. Imam Syafi'i
  4. Imam Abu Hanifah
(Bagi yang ingin mendalami metode ijtihad para ulama saya merekomendasikan Muhammad Salam Madkur, "Manahij al-Ijtihad fi al-Islam", Kuwait, al-matba'ah al-'Asriyah al-Kuwait, Jami'ah al-Kuwait, 1984)
Demikianlah sebab-sebab para ulama berbeda pendapat. Kalau saya boleh menyimpulkan maka ada dua sebab utama:
  1. Sebab internal, yaitu berbeda dalam memahami al-Qur'an dan Hadis serta berbeda dalam menyusun metode ijtihad mereka (lihattulisan terdahulu http://www.facebook.com/notes/mutiara-hikmah/berbeda-dalam-memahami-dan-memandang-kedudukan-suatu-hadits-nadirsyah-hosen/482059925567 dan http://www.facebook.com/notes/mutiara-hikmah/sebab-sebab-timbulnya-perbedaan-pendapat-di-kalangan-ulama/481695200567)
  2. Sebab eksternal, yaitu perbedaan sosio-kultural dan geografis
Persoalannya sekarang, bagaimana kita mensikapi perbedaan pendapat di antara ulama? Kalau kita sudah tahu bahwa keragaman pendapat ulama itu juga merujuk pada al-Qur'an dan Hadis, maka silahkan anda pilih pendapat yang manapun. Yang lebih penting lagi, janganlah cepat berburuk sangka dengan keragaman pendapat di kalangan ulama.
Jangan sembarangan menuduh mereka sebagai ulama pesanan ataupun ulama yang ditekan pemerintah. Juga jangan cepat-cepat menilai salah fatwa ulama hanya karena fatwa tersebut berbeda dengan selera ataupun pendapat kita.
Mengapa kita harus mengukur dalamnya sungai dengan sejengkal kayu? Sayang, kita suka sekali mengukur kedalaman ilmu seorang ulama hanya dengan sejengkal ilmu yg kita punya.
Di sisi lain, ulama pun tetap manusia biasa yang tidak lepas dari kesalahan dan kekhilafan. Rasulullah sendiri mengakui bahwa akan ada orang yang salah dalam berijtihad, namun Rasulullah mengatakan tetap saja Allah akan memberi satu pahala bagi yang salah dalam berijtihad, dan dua pahala bagi yang benar dalam ijtihad.
Masalahnya, Apakah kita punya hak untuk menilai salah-benarnya ijtihad ulama itu? Bukankah hanya Allah Hakim yang paling adil?
Al-Haq min Allah!


Kamis, 25 Juni 2015

PUASA IBU HAMIL DAN MENYUSUI

Ibu Hamil dan Menyusui Boleh Berbuka

Tidak ada penjelasan khusus tentang masalah ini didalam Al-Quran, bahkan QS. Al-Baqarah:184 tidak menyebutkan kondisi hamil dan menyusui secara jelas sebagai alasan yang dengannya dibolehkan berbuka pada bulan Ramadhan. Al-Quran hanya menyebutkan tiga kondisi saja; sakit, safar, dan lemah (lanjut usia).
Namun walau demikian tidak serta-merta bahwa apa yang tidak ada dalam Al-Quran lalu kemudian bisa disimpulkan bahwa untuk kondisi hamil dan menyusui tetap wajib berpuasa dan tidak boleh berbuka. Al-Quran memang tidak menjelaskan secara khusus, namun hadits Rasulullah SAW melengkapi penjelasannya.
Dalam fikih puasa penjelasan tentang perihal puasa perempuan lebih lebih banyak dari pada pembahasan puasa laki-laki, karena pada umumnya aturan puasa untuk kaum Adam juga berlaku untuk mereka, dan selanjtnya ada aturan-aturan khusus bagi perempuan yang tidak berlaku bagi laki-laki.
Dalam kondisi hamil, kadang perempuan mengkhawatirkan kondisi bayi yang berada dalam kandungannya, kadang juga ada rasa takut terjadi apa-apa terhadap dirinya ketika mengandung, pun begitu dengan perempuan yang menyusui, kadang waktu khawatir dengan kesehatan bayi jika berpuasa, dilain waktu juga kadang muncul rasa takut dengan kondsi dirinya.
Untuk setiap kemungkinan diatas para ulama menyepakati akan kebolehan bagi mereka untuk berbuka disiang hari pada bulan Ramadhan, dan dalam konsisi seperti ini hadir penjelasan Rasulullah SAW:
إِنَّ اللهَ عَزَّ وَجَلَّ وَضَعَ عَنِ المُسَافِرِ الصَّوْمَ وَشَطْرَ الصَّلاَةِ وَعَنِ الحبُْلَى وَالمرُضِعِ الصَّوْمَ
"Sesungguhnya Allah azza wajalla meringankan musafir dari berpuasa, mengurangi (rakaat) shalat dan meringankan puasa dari wanita yang hamil dan menyusui” (HR. Ahmad dan Ashabussunan) 
Kebolehan berbuka ini bukan berarti meniadakan kemungkinan untuk berpuasa, terlebih jika memang kondisinya baik. Ada baiknya memang dikonsultasikan dengan dokter kandungan sebelum memutuskan untuk berpuasa, jika memang mempunyai niat untuk itu.
Qadha atau  Fidyah
Disinilah letak pertanyaan yang penting untuk ditanyakan, karena memang di dalam Al-Quran sendiri tidak dijelaskan tentang ini, pun begitu dengan Hadits Rasulullah SAW. Karena tidak ada dalil khsusus mengenai konsekwensi dari berbukanya ibu hamil dan menyusui ini, jadi akan sangat wajar jika ada perbedaan diantara para ulama.
Ibnu Katsir menyebutkan didalam tafsir Al-Quran Al-Azhim, juz 1, hal 501:
ففيهما خلاف كثير بين العلماء، فمنهم من قال: يفطران ويفديان ويقضيان. وقيل: يفديان فقط، ولا قضاء. وقيل: يجب القضاء بلا فدية. وقيل: يفطران، ولا فدية ولا قضاء
“Bahwa untuk kedua permasalahan ini terdapat khilaf diantara ulama; sebagian berpendapat mereka harus membayar fidyah dan mengganti puasanya, sebagian berpendapat cukup hanya dengan membayar fidyah saja, ada juga yang berpendapat wajib bagi mereka qadha’ saja, dan ada juga yang lebih ekstrim lagi; tidak fidyah tidak juga qadha’
Karena tidak ada penjelasan khsusus terkait hal ini, maka pada umumnya para ulama berijtihad dengan menggunakan jalan qiyas, dimana kondisi hamil dan menyusui ini diqiyaskan dengan kondisi yang sudah ada nashnya; sakit, safar, atau orang yang lanjut usia.
Pendapat Pertama : Qadha' Saja
Ini adalah pendapat Imam Abu Hanifah dan ulama lainnya yang sejalan dengan beliau. Pendapat yang pertama ini mengqiyaskan wanita hamil dan menyusui seperti orang yang sakit, yaitu kondisi sakit yang masih memungkin untuk sembuh.
Sebagaimana mereka yang sakit harus mengqadha’ atau mengganti sejumlah puasa yang ditinggalkan ketika sudah sembuh dari sakitnya, pun begitu bagi ibu hamil dan menyusui mereka juga diwajibkan untuk mengganti puasa yang ditinggalkan pada hari lainnya.

Pendapat ini berdasarkan firman Allah sebagai berikut:
أَيَّامًا مَعْدُودَاتٍ فَمَنْ كَانَ مِنْكُمْ مَرِيضًا أَوْ عَلَى سَفَرٍ فَعِدَّةٌ مِنْ أَيَّامٍ أُخَرَ
Artinya: (yaitu) dalam beberapa hari yang tertentu. Maka jika di antara kamu ada yang sakit atau dalam perjalanan (lalu ia berbuka), maka (wajiblah baginya berpuasa) sebanyak hari yang ditinggalkan itu pada hari-hari yang lain. (Al-Baqarah: 184)
Pendapat Kedua : Fidyah Saja
Ini adalah pendapat Ibnu Umar, Ibnu Abbas, Ibnu Jubair yang menilai bahwa  ibu hamil atau menyusui seperti mereka yang sudah lanjut usia, dan seperti mereka yang sakit namun termasuk dalam katagori sakit yang tidak diharapkan kesembuhannya.
Sebagaimana mereka yang sudah lanjut usia, karena lemah fisiknya mereka dibolehkan berbuka dan mereka diwajibkan membayar fidyah saja, tanpa harus mengganti puasa dihari lainnya, pun begitu dengan ibu hamil dan menyusui mereka hanya diminta membayar fidyah juga.
Sebagaimana firman Allah berikut:
وَعَلَى الَّذِينَ يُطِيقُونَهُ فِدْيَةٌ طَعَامُ مِسْكِينٍ
“Dan wajib bagi orang-orang yang berat menjalankannya (jika mereka tidak berpuasa) membayar fid-yah, (yaitu): Memberi makan seorang miskin” (Al-Baqarah : 184)
Diriwayatkan oleh Abdur Rozzaq dalam Mushannaf-nya bahwa sekali waktu Ibnu Umar ditanya perihal perempuan hamil dibulan puasa, beliau menjawab:
تفطر وتطعم كل يوم مسكينا
“dia boleh berbuka, dan membayar fidyah untuk orang miskin”
Diriwayatkan dari Ibnu Abbas bahwa beliau pernah meminta perempuan hamil untuk berbuka dibulan puasa dan berkata:
أنت بمنزلة الكبير لا يطيق الصيام، فافطري، وأطعمي، عن كل يوم نصف صاع من حنطة
“Kalian seperti orang yang sudah lanjut usia yang sudah tidak kuat untukberpuasa, maka berbuka saja, dan berilah makan orang miskin  (membayar fidyah) disetiap hari yang ditinggalkan setengah sho’ dari hinthah” 
Jika mereka tidak berpuasa di bulan Ramadhan sebab mengkhawatirkan kondisi dirinya ataupun bayinya, maka harus membayar Fidyah tanpa perlu mengqadha’.
Pendapat Ketiga : Qadha' dan Fidyah
Pendapat ini sangat masyhur di negri kita Indonesia khususnya, ini adalah pendapat dari madzhab Syafi’i dan ulama-ulama lainnya yang menilai bahwa ibu hamil dan menyusui itu sama dengan orang sakit dan juga orang yang terbebani dalam melakukan puasa.
Untuk itu kondisi hamil dan menyusui ini diqiyaskan kepada dua kondisi tersebut, karenya apabila ibu hamil dan menyusi  tidak berpuasa di bulan Ramadhan, maka mereka harus mengqadha’ puasa tersebut dan juga membayar fidyah.
Pendapat ini adalah penggabugan antara pendapat pertama dan kedua. Syaikh Yusuf Al-Qaradhawi dalam kitabnya Taisir Al-Fiqh (Fiqhu As-Shiyam), hal. 72 meyakini bahwa ini adalah pendapat mayoritas ulama.
Dilain pihak, pendapat ketiga ini dinilai lebih selamat, karena telah menggabungkan antara pendapat pertama dan kedua, walaupun dalam waktu yang bersamaan juga dinilai agak memberatkan.
Pendapat Keempat : Membedakan Antara Hamil dan Menyusui
Ini adalah pendapat dalam madzhab Maliki, mereka membedakan antara ibu hamil dan menyusui. Untuk kondisi hamil mereka mengqiyaskan dengan kondisi sakit, sedangkan untuk kondisi menyusui mereka mengqiyaskannya dengan kondisi sakit plus kondisi lanjut usia yang sudah tidak kuasa berpuasa.
Karena diqiyaskan dengan mereka yang sakit, maka ibu hamil yang tidak berpuasa diwajibkan atas mereka untuk mengganti puasa yang ditinggalkan tersebut dihari-hari diluar bulan Ramadhan, dan karena kondisi menyusui diqiyaskan dengan kondisi sakit dan lanjut usia, maka bagi ibu yang sedang menyusui anaknya yang tidak berpuasa Ramadhan kewajibannya adalah meng-qadha’ puasa tersebut sekaligus juga membayar fidyah. 
Pendapat Al-Qaradhawi
Menarik apa yang ditulis oleh Syaikh Yusuf Al-Qaradhawi dalam menyikapi perbedaan diatas. Beliau berpendapat dalam kitabnya Taisir Al-Fiqh (Fiqhu As-Shiyam), hal. 74, bahwa untuk perempuan yang hamilnya sangat rutin dengan fase kehamilan yang sangat dekat jaraknya, maka pendapat Ibnu Umar dan Ibnu Abbas bisa menjadi acuan.
Namun untuk perempuan sekarang, yang masa kehamilannya sangat jarang, terlebih dunia medis sekarang sudah menemukan jalan untuk penjarangan kehamilan, apalagi bagi mereka yang hamilnya hanya dua atau tiga kali saja dalam hidupnya, maka untuk kasus seperti ini ada baiknya mengambil pendapat mayoritas ulama, untuk bisa meng-qadha’ puasa dan juga membayar fidyah.
Jadi dalam memberikan hukum juga mempertimbangkan keringanan (mura’aha at-takhfif) dan menghilangkan kesulitan yang berlebihan (raf’u al-masyaqqah az-za’idah) bagi perempuan yang hamil dan menyusui.
Namun karena wilayah ini adalah wilayah khilaf diantara ulama, maka hendaknya kita sikapi dengan luwes saja. Bagi mereka yang meyakini bahwa pendapat ketiga adalah pendapat yang kuat, tentunya tidak boleh menyalahkan jika ada diantara kita yang menilai bahwa pendapat kedualah yang paling kuat. 
Wallahu A’lam Bishshawab.

Rabu, 22 April 2015

BERCANDA MENYEMBUNYIKAN SANDAL TEMAN
Bolehkah menyembunyikan sendal, jam tangan, barang yang ia lupa namun hanya sekedar bercanda? Seperti ini kerjaan sebagian kita dahulu. Kadang cuma bercanda dan sekedar lelucon, namun sampai membuat orang lain susah dan sedih.
Dari ‘Abdullah bin As Sa’ib bin Yazid, dari bapaknya, dari kakeknya, ia mendengar Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
لاَ يَأْخُذَنَّ أَحَدُكُمْ مَتَاعَ أَخِيهِ لاَعِبًا وَلاَ جَادًّا
Tidak boleh seorang dari kalian mengambil barang saudaranya, baik bercanda maupun serius.” (HR. Abu Daud no. 5003 dan Tirmidzi no. 2160. Al Hafizh Abu Thohir mengatakan bahwa sanad hadits ini shahih).
Orang yang mengambil hendaklah mengembalikan barang yang disembunyikan lalu meminta maaf. Dalam riwayat lain disebutkan,
وَمَنْ أَخَذَ عَصَا أَخِيهِ فَلْيَرُدَّهَا
Siapa yang mengambil tongkat saudaranya, hendaklah ia mengembalikannya” (HR. Abu Daud no. 5003)
Kita sering dahulu melihat ada yang melakukan seperti itu. Ada yang sengaja menyembunyikan sendal temannya di masjid . Ketika yang punya barang keluar, ia pun kebingungan. Nah, ketika sudah pada puncak kebingungan setelah sejam mencari, barulah barang miliknya dikembalikan. Hal ini tidaklah dibolehkan. Sampai-sampai Imam Abu Daud (Sulaiman bin Al Asy’ats As Sajistaniy) membuat bab tersendiri dalam kitab sunannya dengan membawakan hadits-hadits yang penulis sebutkan di atas. Beliau membuat judul bab, “Siapa yang mengambil barang orang lain dalam rangka bercanda.”

Dalam ‘Aunul Ma’bud karya Al ‘Azhim Abadi disebutkan, “Kalau mengambil barang orang lain bukan dalam rangka bercanda, jelas terlarang karena termasuk dalam kategori mencuri. Adapun jika mengambilnya hanya ingin bercanda saja, maka seperti itu tidak bermanfaat. Bahkan seperti ini hanya menimbulkan kemarahan dan menyakiti orang yang punya barang.” (‘Aunul Ma’bud, 13: 250-251)
Dalam hadits disebutkan bahwa yang diambil dan disembunyikan adalah sebuah tongkat. Barang tersebut dianggap sebagai barang yang tafih (sepele). Namun jika menyembunyikan yang sepele seperti ini saja tidak boleh walau bercanda, apalagi yang lebih berharga dari itu. Demikian penjelasan dalam Tuhfatul Ahwadzi, 6: 380.
Juga ada keterangan dalam Tuhfatul Ahwadzi bahwa tujuan menyembunyikan barang milik orang lain di situ bukanlah maksud untuk mencuri, tujuannya hanya menimbulkan amarah orang lain. Itu namanya bermain-main dengan mencuri, namun termasuk serius membuat orang lain marah, menakut-nakuti serta menyakitinya.
Membuat orang lain takut walau maksudnya bercanda termasuk dosa. Pernah di antara sahabat Nabishallallahu ‘alaihi wa sallam berjalan bersama beliau, lalu ada seseorang di antara mereka yang tertidur dan sebagian mereka menuju tali yang dimiliki orang tersebut dan mengambilnya. Lalu orang yang punya tali tersebut khawatir (takut). Lantas Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
لاَ يَحِلُّ لِمُسْلِمٍ أَنْ يُرَوِّعَ مُسْلِمًا
Tidak halal bagi seorang muslim menakut-nakuti muslim yang lain.” (HR. Abu Daud no. 5004 dan Ahmad 5: 362. Al Hafizh Abu Thohir mengatakan bahwa hadits ini hasan). Al Munawi menyatakan bahwa jika dilakukan dengan bercanda tetap terlarang karena seperti itu menyakiti orang lain. Lihat ‘Aunul Ma’bud, 13: 251.
Yang dahulu pernah melakukan seperti itu, maka minta maaflah pada saudaranya dan banyaklah bertaubat.
Semoga bermanfaat. Hanya Allah yang memberi taufik dan hidayah.

Referensi:

‘Aunul Ma’bud Syarh Sunan Abi Daud, Abu ‘Abdirrahman Saroful Haqq Muhammad Asyrof Ash Shidiqi Al ‘Azhim Abadi, terbitan Darul Faiha’, cetakan pertama, tahun 1430 H.
Tuhfatul Ahwadzi bi Syarh Jaami’ At Tirmidzi, Abul ‘Ulaa Muhammad ‘Abdurrahman bin ‘Abdurahim Al Mubarakfuri, terbitan Darul Faiha’, cetakan pertama, tahun 1432 H.

Kamis, 09 April 2015


YUK SHOLAT TASBIH ... !!!

Anjuran shalat tasbih ini sebagaimana yang disabdakan oleh Baginda Rasulullah SAW dalam sebuah hadist dari Ibnu ‘Abbas:

 عَنِ ابْنِ عَبَّاسٍ رَضِيَ الله ُعَنْهُ: أَنََّ رَسُوْلُ اللهِ صَلََّى الله ُعَلَيْهِ وَسَلََّمَ قَالَ لِلْعَبَّاسِ بْنِ عَبْدِ الْمُطَلِّبْ: يَا عَبَّاسُ يَا عَمَّاهْ !! أَلاَ أُعْطِيْكَ؟ أَلاَ أُمْنِحُكَ؟ أَلاَ أُحِبُّكَ؟ أَلاَ أَفْعَلُ بِكَ عَشَرَ خِصَالٍ, إِذَا أَنْتَ فَعَلْتَ ذَلِكَ غَفَرَ اللهُ لَكَ ذَنْبِكَ أَوَّلَهُ وَآخِرَهُ, قَدِيْمَهُ وَحَدِيْثَهُ, خَطْأَهُ وَعَمْدَهُ, صَغِيْرَهُ وَكَبِيْرَهُ, سِرَّهُ وَعَلاَنِيَّتَهُ. عَشَرَ خِصَالٍ, أَنْ تُصَلِّيْ أَرْبَعَ رَكَعَاتٍ تَقْرَأُ فِي كُلِّ رَكْعَةٍ فَاتِحَةَ الْكِتَابِ وَسُوْرَةً, فَإِذَا فَرَغْتَ مِنَ الْقِرَاءَةِ فِي أَوَّلِ رَكْعَةٍ, وَأَنْتَ قَائِمٌ قُلْتَ سُبْحَانَ اللهِ وَالْحَمْدُ لِلَّهِ وَلاَ إِلَهَ إِلاََّّ اللهِ وَالله ُأَكْبَرُ خَمْسَ عَشْرَةَ مَرَّةً, ثُمَّ تَرْكَعُ فَتَقُوْلُهَا وَأَنْتَ رَاكِعٌ عَشْرًا, ثُمَّ تَرْفَعُ رَأْسَكَ مِنَ الرُّكُوْعِ فَتَقُوْلُهَا عَشْرًا, ثُمَّ تَهْوِيْ سَاجِدًا فَتَقُوْلُهَا وَأَنْتَ سَاجِدٌ عَشْرًا, ثُمَّ تَرْفَعُ رَأْسَكَ مِنَ السُّجُوْدِ فَتَقُوْلُهَا عَشْرًا, ثُمَّ تَسْجُدُ فَتَقُوْلُهَا عَشْرًا, ثُمَّ تَرْفَعُ رَأْسَكَ فَتَقُوْلُهَا عَشْرًا, فَذَلِكَ خَمْسٌ وَسَبْعُوْنَ فِي كُلِّ رَكْعَةٍ تَفْعَلُ ذَلِكَ فِي أَرْبَعِ رَكَعَاتٍ, إِذَا اسْتَطَعْتَ أَنْ تُصَلِّيْهَا فِي كُلِّ يَوْمٍ مَرَّةً فَافْعَلْ, فَإِنْ لَمْ تَفْعَلْ فَفِيْ كُلِّ جُمْعَةٍ مَرَّةً, فَإِنْ لََمْ تَفْعَلْ فَفِي كُلِّ شَهْرٍ مَرَّةً, فَإِنْ لَمْ تَفْعَلْ فَفِي كُلِّ سَنَةِ مَرَّةً, فَإِنْ لَمْ تَفْعَلْ فَفِي عُمْرِكَ مَرَّةً. 

Artinya: “Dari Ibnu ‘Abbâs, bahwasanya Rasulullah shallallâhu ‘alaihi wa sallam bersabda kepada ‘Abbâs bin ‘Abdul Muththalib, ‘Wahai ‘Abbas, wahai pamanku, maukah kamu apabila aku beri? Bolehkah sekiranya aku beri petunjuk padamu? Tidakkah kau mau? saya akan tunjukkan suatu perbuatan yang mengandung 10 keutamaan, yang jika kamu melakukannya maka diampuni dosamu, yaitu dari awalnya hingga akhirnya, yang lama maupun yang baru, yang tidak disengaja maupun yang disengaja, yang kecil maupun yang besar, yang tersembunyi maupun yang nampak.  Semuanya 10 macam. Kamu shalat 4 rakaat. Setiap rakaat kamu membaca Al-Fatihah dan satu surah. Jika telah selesai, maka bacalah Subhanallâhi wal hamdulillâhi wa lâ ilâha illallâh wallahu akbar sebelum ruku’ sebanyak 15 kali, kemudian kamu ruku’ lalu bacalah kalimat itu di dalamnya sebanyak 10 kali, kemudian bangun dari ruku’ (I’tidal) baca lagi sebanyak 10 kali, kemudian sujud baca lagi sebanyak 10 kali, kemudian bangun dari sujud baca lagi sebanyak 10 kali, kemudian sujud lagi dan baca lagi sebanyak 10 kali, kemudian bangun dari sujud sebelum berdiri baca lagi sebanyak 10 kali, maka semuanya sebanyak 75 kali setiap rakaat. Lakukan yang demikian itu dalam empat rakaat. Lakukanlah setiap hari, kalau tidak mampu lakukan setiap pekan, kalau tidak mampu setiap bulan, kalau tidak mampu setiap tahun dan jika tidak mampu maka lakukanlah sekali dalam seumur hidupmu." (HR. Abu Daud no. 1297)
 Dari Anas bin Malik bahwasannya Ummu Sulaim pagi-pagi menemui Baginda Rasulullah shallahu 'alaihi wa sallam seraya berkata, ajarilah saya beberapa kalimat yang saya ucapkan didalam shalatku, maka beliau bersabda:

 كَبِّرِى اللَّهَ عَشْرًا وَسَبِّحِى اللَّهَ عَشْرًا وَاحْمَدِيهِ عَشْرًا ثُمَّ سَلِى مَا شِئْتِ يَقُولُ نَعَمْ نَعَمْ ». قَالَ وَفِى الْبَابِ عَنِ ابْنِ عَبَّاسٍ وَعَبْدِ اللَّهِ بْنِ عَمْرٍو وَالْفَضْلِ بْنِ عَبَّاسٍ وَأَبِى رَافِعٍ. قَالَ أَبُو عِيسَى حَدِيثُ أَنَسٍ حَدِيثٌ حَسَنٌ غَرِيبٌ. وَقَدْ رُوِىَ عَنِ النَّبِىِّ -صلى الله عليه وسلم- غَيْرُ حَدِيثٍ فِى صَلاَةِ التَّسْبِيحِ وَلاَ يَصِحُّ مِنْهُ كَبِيرُ شَىْءٍ. وَقَدْ رَأَى ابْنُ الْمُبَارَكِ وَغَيْرُ وَاحِدٍ مِنْ أَهْلِ الْعِلْمِ صَلاَةَ التَّسْبِيحِ وَذَكَرُوا الْفَضْلَ فِيهِ. حَدَّثَنَا أَحْمَدُ بْنُ عَبْدَةَ حَدَّثَنَا أَبُو وَهْبٍ قَالَ سَأَلْتُ عَبْدَ اللَّهِ بْنَ الْمُبَارَكِ عَنِ الصَّلاَةِ الَّتِى يُسَبَّحُ فِيهَا فَقَالَ يُكَبِّرُ ثُمَّ يَقُولُ سُبْحَانَكَ اللَّهُمَّ وَبِحَمْدِكَ وَتَبَارَكَ اسْمُكَ وَتَعَالَى جَدُّكَ وَلاَ إِلَهَ غَيْرُكَ ثُمَّ يَقُولُ خَمْسَ عَشْرَةَ مَرَّةً سُبْحَانَ اللَّهِ وَالْحَمْدُ لِلَّهِ وَلاَ إِلَهَ إِلاَّ اللَّهُ وَاللَّهُ أَكْبَرُ ثُمَّ يَتَعَوَّذُ وَيَقْرَأُ (بِسْمِ اللَّهِ الرَّحْمَنِ الرَّحِيمِ) وَفَاتِحَةَ الْكِتَابِ وَسُورَةً ثُمَّ يَقُولُ عَشْرَ مَرَّاتٍ سُبْحَانَ اللَّهِ وَالْحَمْدُ لِلَّهِ وَلاَ إِلَهَ إِلاَّ اللَّهُ وَاللَّهُ أَكْبَرُ ثُمَّ يَرْكَعُ فَيَقُولُهَا عَشْرًا. ثُمَّ يَرْفَعُ رَأْسَهُ مِنَ الرُّكُوعِ فَيَقُولُهَا عَشْرًا ثُمَّ يَسْجُدُ فَيَقُولُهَا عَشْرًا ثُمَّ يَرْفَعُ رَأْسَهُ فَيَقُولُهَا عَشْرًا ثُمَّ يَسْجُدُ الثَّانِيَةَ فَيَقُولُهَا عَشْرًا يُصَلِّى أَرْبَعَ رَكَعَاتٍ عَلَى هَذَا فَذَلِكَ خَمْسٌ وَسَبْعُونَ تَسْبِيحَةً فِى كُلِّ رَكْعَةٍ يَبْدَأُ فِى كُلِّ رَكْعَةٍ بِخَمْسَ عَشْرَةَ تَسْبِيحَةً ثُمَّ يَقْرَأُ ثُمَّ يُسَبِّحُ عَشْرًا فَإِنْ صَلَّى لَيْلاً فَأَحَبُّ إِلَىَّ أَنْ يُسَلِّمَ فِى الرَّكْعَتَيْنِ وَإِنْ صَلَّى نَهَارًا فَإِنْ شَاءَ سَلَّمَ وَإِنْ شَاءَ لَمْ يُسَلِّمْ. قَالَ أَبُو وَهْبٍ وَأَخْبَرَنِى عَبْدُ الْعَزِيزِ بْنُ أَبِى رِزْمَةَ عَنْ عَبْدِ اللَّهِ أَنَّهُ قَالَ يَبْدَأُ فِى الرُّكُوعِ بِسُبْحَانَ رَبِّىَ الْعَظِيمِ وَفِى السُّجُودِ بِسُبْحَانَ رَبِّىَ الأَعْلَى ثَلاَثًا ثُمَّ يُسَبِّحُ التَّسْبِيحَاتِ. قَالَ أَحْمَدُ بْنُ عَبْدَةَ وَحَدَّثَنَا وَهْبُ بْنُ زَمْعَةَ قَالَ أَخْبَرَنِى عَبْدُ الْعَزِيزِ وَهُوَ ابْنُ أَبِى رِزْمَةَ قَالَ قُلْتُ لِعَبْدِ اللَّهِ بْنِ الْمُبَارَكِ إِنْ سَهَا فِيهَا يُسَبِّحُ فِى سَجْدَتَىِ السَّهْوِ عَشْرًا عَشْرًا قَالَ لاَ إِنَّمَا هِىَ ثَلاَثُمِائَةِ تَسْبِيحَةٍ. 

Artinya: "Bertakbirlah kepada Allah sebanyak sepuluh kali, bertasbihlah kepada Allah sepuluh kali dan bertahmidlah (mengucapkan alhamdulillah) sepuluh kali, kemudian memohonlah (kepada Allah) apa yang kamu kehendaki, niscaya Dia akan menjawab: ya, ya, (Aku kabulkan permintaanmu)." (perawi) berkata, dalam bab ini (ada juga riwayat -pent) dari Ibnu Abbas, Abdullah bin Amru, Al Fadll bin Abbas dan Abu Rafi'. Abu Isa berkata, hadits anas adalah hadits hasan gharib, telah diriwayatkan dari Nabi Shallahu 'alaihi wa sallam selain hadits ini mengenai shalat tasbih, yang kebanyakan (riwayatnya) tidak shahih. Ibnu Mubarrak dan beberapa ulama lainnya berpendapat akan adanya shalat tasbih, mereka juga menyebutkan keutamaan shalat tasbih. Telah mengabarkan kepada kami Ahmad bin 'Abdah Telah mengabarkan kepada kami Abu Wahb dia berkata, saya bertanya kepada Abdullah bin Al Mubarak tentang shalat tasbih yang didalamnya terdapat bacaan tasbihnya, dia menjawab, ia bertakbir kemudian membaca Subhaanaka Allahumma Wa Bihamdika Wa Tabaarakasmuka Wa Ta'ala Jadduka Walaa Ilaaha Ghairuka kemudian dia membaca Subhaanallah Walhamdulillah Wa Laailaaha Illallah Wallahu Akbar sebanyak lima belas kali, kemudian ia berta'awudz dan membaca bismillah dilanjutkan dengan membaca surat Al fatihah dan surat yang lain, kemudian ia membaca Subhaanallah Walhamdulillah Wa Laailaaha Illallah Wallahu Akbar sebanyak sepuluh kali, kemudian ruku' dan membaca kalimat itu sepuluh kali, lalu mengangkat kepala dari ruku' dengan membaca kalimat tersebut sepuluh kali, kemudian sujud dengan membaca kalimat tersebut sepuluh kali, lalu mengangkat kepalanya dengan membaca kalimat tersebut sepuluh kali, kemudian sujud yang kedua kali dengan membaca kalimat tersebut sepuluh kali, ia melakukan seperti itu sebanyak empat raka'at, yang setiap satu raka'atnya membaca tasbih sebanyak tujuh puluh lima kali, disetiap raka'atnnya membaca lima belas kali tasbih, kemudian membaca Al Fatehah dan surat sesudahnya serta membaca tasbih sepuluh kali-sepuluh kali, jika ia shalat malam, maka yang lebih disenagi adalah salam pada setiap dua raka'atnya. Jika ia shalat disiang hari, maka ia boleh salam (di raka'at kedua) atau tidak. Abu Wahb berkata, telah mengabarkan kepadaku 'Abdul 'Aziz bin Abu Rizmah dari Abdullah bahwa dia berkata, sewaktu ruku' hendaknya dimulai dengan bacaan Subhaana Rabbiyal 'Adziimi, begitu juga waktu sujud hendaknya dimulai dengan bacaan Subhaana Rabbiyal A'la sebanyak tiga kali, kemudian membaca tasbih beberapa kali bacaan. Ahmad bin 'Abdah berkata, Telah mengabarkan kepada kami Wahb bin Zam'ah dia berkata, telah mengabarkan kepadaku 'Abdul 'Aziz dia adalah Ibnu Abu Zirmah, dia berkata, saya bertanya kepada Abdullah bin Mubarak, jika seseorang lupa (waktu mengerjakan shalat tasbih) apakah ia harus membaca tasbih pada dua sujud sahwi sebanyak sepuluh kali-sepuluh kali? Dia menjawab, tidak, hanya saja (semua bacaan tasbih pada shalat tasbih) ada tiga ratus kali. (HR. Tirmidzi no. 481) Kedua hadits di atas adalah hadits yang menjelaskan tata cara shalat tasbih. Intinya, shalat tasbih dilakukan dengan 4 raka’at. Ulama Syafi’iyah berpendapat bahwa shalat tasbih jumlahnya empat raka’at dan tidak boleh lebih dari itu. -

Senin, 30 Maret 2015

IBLIS DAN SEORANG LELAKI

Sepasang Suami isteri  awalnya hidup tenteram dan mereka taat kepada perintah Tuhan, meskipun melarat. Segala yang dilarang Allah  Subhaanahu Wa Ta’ala dihindari, dan ibadah mereka tekun sekali. Si Suami adalah seorang yang alim yang taqwa dan tawakkal. Tetapi sudah beberapa lama isterinya mengeluh terhadap kemiskinan yang tiada habis-habisnya itu. Ia memaksa suaminya agar mencari jalan keluar. Ia membayangkan alangkah senangnya hidup jika segala-galanya serba cukup.

Pada suatu hari, lelaki yang alim itu berangkat ke ibu kota dengan mencari pekerjaan. Di tengah perjalanan dia melihat sebatang pohon besar yang tengah dikerumuni orang. Diapun mendekat. Ternyata orang-orang itu sedang memuja-muja pohon yang konon keramat dan sakti itu. Banyak juga kaum wanita dan pedagang-pedagang yang meminta-minta agar suami mereka setia atau dagangnnya laris.

“Ini syirik,” fikir lelaki yang alim tadi. “Ini harus dibanteras habis. Masyarakat tidak boleh dibiarkan menyembah serta meminta selain Allah Subhaanahu Wa Ta’ala.” Maka pulanglah dia dengan terburu-buru. Isterinya heran, mengapa secepat itu suaminya kembali. Lebih heran lagi waktu dilihatnya si suami mengambil sebilah kapak yang diasahnya tajam. Lantas lelaki alim tadi bergegas keluar. Isterinya bertanya tetapi ia tidak menjawab. Segera dinaiki keledainya dan dipacu secepat-cepatnya ke pohon itu. Sebelum sampai di tempat pohon itu tumbuh, tiba-tiba melompat sesosok tubuh tinggi besar dan hitam. Dia adalah iblis yang menyerupai sebagai manusia.

“Hai, hendak kemana kamu?” tanya si iblis.
Orang alim tersebut menjawab, “Saya ingin menuju ke pohon yang disembah-sembah orang bagaikan menyembah Allah. Saya sudah berjanji kepada Allah akan menebang roboh pohon syirik itu.”
“Kamu tidak ada apa-apa hubungan dengan pohon itu. Yang penting kamu tidak ikut-ikutan syirik seperti mereka. Sudah pulang saja.”
“Tidak boleh, kemungkaran mesti diberantas,” jawab si alim bersikap tegas.
“Berhenti, jangan teruskan!” bentak iblis marah.
“Akan saya teruskan!”

Kerana masing-masing tegas pada pendirian, akhirnya terjadilah perkelahian antara orang alim tadi dengan iblis. Kalau melihat perbedaan badannya, seharusnya orang alim itu dengan mudah dapat dibinasakan. Namun ternyata iblis menyerah kalah, meminta-minta ampun. Kemudian dengan berdiri menahan kesakita dia berkata, “Tuan, maafkanlah kekasaran saya. Saya tak akanberani lagi mengganggu tuan. Sekarang pulanglah. Saya berjanji, setiap pagi, apabila Tuan selesai menunaikan sholat Subuh, di bawah sajadah Tuan saya sediakan uang emas empat dinar. Pulang, jangan teruskan niat Tuan itu.”

Mendengar janji iblis dengan uang emas empat dinar itu, lunturlah kekerasan dan tekad si alim tadi. Ia teringatkan isterinya yang hidup berkecukupan. Ia teringat  dengan keluh kesah isterinya yang sangat membutuhkan uang. Setiap pagi empat dinar, dalam sebulan saja dia sudah boleh menjadi orang kaya. Mengingatkan desakan-desakan isterinya itu maka pulanglah dia. Patah niatnya yang semula hendak membanteras kemungkaran.

Demikianlah, semenjak pagi itu isterinya tidak pernah marah lagi. Hari pertama, ketika si alim selesai sholat, dibukanya sajadahnya. Betul di situ terdapat empat dinar uang emas. Dia meloncat kegirangan, isterinya gembira. Begitu juga hari yang kedua. Empat dinar emas. Ketika pada hari yang ketiga, matahari mulai terbit dan dia membuka tikar sajadahnya, masih didapatinya uang itu. Tapi pada hari keempat dia mulai kecewa. Di bawah sajadahnya tidak ada apa-apa lagi keculai tikar pandan yang rapuh. Isterinya mulai marah kerana uang yang kemarin sudah dihabiskan sama sekali.

Si alim dengan lesu menjawab, “Jangan khawatir, besok kita bakal mendapatkan delapan dinar sekaligus.” Keesokkan harinya, dengan berharap cemas suami-isteri itu bangun pagi-pagi. Selesai sholat dibuka sajadahnya tetap kosong. “Kurang ajar..! Penipu..!,” teriak si isteri. “Ambil kapak, tebanglah pohon itu.” “Ya, memang dia telah menipuku. Akan aku habiskan pohon itu semuanya hingga ke ranting dan daun-daunnya,” sahut si alim itu.

Maka segeralah ia mengeluarkan keledainya. Sambil membawa kapak yang tajam dia memacu keledainya menuju ke arah pohon yang syirik itu. Di tengah jalan iblis yang berbadan tinggi besar tersebut sudah menghadang. Matanya menyorot tajam, “Ingin kemana kamu!!!” hardiknya menggelegar.

“Akan kutebang pohon itu,” jawab si alim dengan gagah berani.
“Berhenti, jangan lanjutkan.”
“Bagaimanapun juga tidak boleh, sebelum pohon itu tumbang.”

Maka terjadi kembali perkelahian yang hebat. Tetapi kali ini bukan iblis yang kalah, tapi si alim yang terkulai. Dalam kesakitan, si alim tadi bertanya penuh heran, “Dengan kekuatan apa engkau dapat mengalahkan saya, padahal dulu engkau tidak berdaya sama sekali?”

Iblis itu dengan angkuh menjawab, “Tentu saja engkau dahulu boleh menang, kerana waktu itu engkau keluar rumah untuk Allah, demi Allah. Andaikata kukumpulkan seluruh belantaraku menyerangmu sekalipun, aku takkan mampu mengalahkanmu. Sekarang kamu keluar dari rumah hanya kerana tidak ada uang di bawah sajadahmu. Maka biarpun kau keluarkan seluruh kebolehanmu, tidak mungkin kamu mampun menjatuhkan aku. Pulang saja, kalau tidak, kupatahkan nanti batang lehermu.”

Mendengar penjelasan iblis ini si alim tadi tertegun. Ia merasa bersalah, dan niatnya memang sudah tidak ikhlas kerana Allah Subhaanahu Wa Ta’ala. Dengan lemas ia pulang ke rumahnya. Dibatalkan niat semula untuk menebang pohon itu. Ia sadar bahwa perjuangannya yang sekarang adalah tanpa keikhlasan karena Allah Subhaanahu Wa Ta’ala, dan ia sadar perjuangan yang semacam itu tidak akan menghasilkan apa-apa selain dari kesia-sia'an. Sebab tujuannya adalah kerana harta benda, melebihi keutamaan karena Allah Subhaanahu Wa Ta’ala dan agama. Bukankah bererti ia telah menyalahgunakan agama untuk kepentingan hawa nafsu semata-mata?
“Barangsiapa di antara kamu melihat sesuatu kemungkaran, hendaklah (berusaha) memperbaikinya dengan tangannya (kekuasaan), bila tidak mungkin hendaklah berusaha memperbaikinya dengan lidahnya (nasihat), bila tidak mungkin pula, hendaklah mengingkari dengan hatinya (tinggalkan). Itulah selemah-lemah iman.” (HR: Muslim)